Mantra adalah kata atau rumus suci yang melindungi pikiran, serta membawa kekuatan spiritual. Melalui pengulangan (japa) dan visualisasi dewa, mantra membantu mencapai kesempurnaan psikofisik. Mantra-sastra mengajarkan penggunaan mantra untuk kebaikan, kemakmuran, juga pembebasan spiritual.
Mantra, sebagai bagian integral dari praktik spiritual Tantra, memiliki kekuatan untuk melindungi dan membawa transformasi dalam diri seseorang. Berasal dari akar kata Sansekerta berarti "merefleksikan" dan "melindungi", mantra digunakan untuk menyatukan kekuatan psikofisik dan mencapai kesempurnaan spiritual.
Tulisan kali ini menjelaskan asal usul mantra, jenis-jenisnya, serta cara penggunaannya melalui pengulangan (japa) dan visualisasi dewa. Mari kita telusuri lebih mendalam tentang bagaimana mantra dapat menjadi alat spiritual yang kuat untuk mencapai perlindungan, kemakmuran, dan pencerahan.
Mengenal Hakikat Mantra
Dalam disiplin praktis persuasi Tantrik, mantra menempati posisi penting. Ungkapan mantra berasal dari dua akar bahasa Sansekerta berarti merefleksikan (man) dan melindungi (rati). Maknanya adalah bahwa mantra merupakan kata atau rumus suci, mampu melindungi pikiran orang mengucapkannya.
Proses berpikir atau mengucapkannya dikatakan menghasilkan kekuatan penyelamat: melindungi orang dari kesalahan, malapetaka, juga adanya kesialan atau mungkin terjadi. Seluruh ilmu pengetahuan telah berkembang di India mengenai sumber, arah, penggunaan, juga kegunaan mantra, tercatat jumlahnya sekitar tujuh crore (70 milyar). Dikenal sebagai Mantra-sastra, subjek ini dibahas secara terperinci dalam beberapa Kalpa, Patala, Tantra, serta Manuskrip (seperti Mantra Mahodadhi).
Salah satu teks Tantrik terkenal, Sarada Tilaka, berisi kisah tentang asal usul mantra. Berdasarkan pada teori Kundalini, dimana gudang energi psikis dalam diri individu, bersifat suara absolut (sabda-brahman). Seluruh lima puluh huruf alfabet Sansekerta, mulai dari a hingga ksha, mewakili kecenderungan mental dasar manusia, terkandung di dalamnya, tidak jelas serta tidak terlihat, ini seperti sebuah objek dalam kegelapan. Setiap kali ada dorongan mengucapkan suara, maka secercah cahaya bersinar. Kesadaran akan dorongan, juga pencerahan ini disebut sebagai “titik” (bindu).
Berasal dari Kundalini di pusat Muladhara, dorongan tersebut berusaha memasuki arteri untuk memperoleh artikulasi. Sebelum pintu masuk diperoleh, suara tersebut dikenal sebagai transenden (para). Aspek-aspeknya tidak memiliki pembedaan, serta berada di luar pemahaman biasa. Begitu memasuki arteri, akan mulai bergema melalui arteri sejauh pusat Svadhisthana, kemudian dikenal sebagai persepsi (pasyanti). Dalam bentuk pasyanti, Para ahli mistik mampu merasakannya, meskipun berada di luar jangkauan pendengaran. Itulah dinamakan sebagai suara terlihat.
Ketika mencapai tenggorokan (atau istilah lain jantung, pusat anahata) disebut tengah atau perantara (madhyama). Disini mulai terbentuk menjadi sebuah cahaya dan suara, aspeknya mampu dipahami serta lebih menonjol. Ketika keluar dari tenggorokan, mulai terbentuk di mulut, diucapkan atau diartikulasikan (vaikhari). Semua suara yang divokaliskan termasuk kategori terakhir ini: bahkan ucapan umum (komunikasi) juga sebenarnya adalah mantra.
Membangkitkan Sabda Brahman
Semua ucapan memiliki dasar suara Om. Selama kehidupan berlangsung di dalam tubuh, selama arus vital mengalir melalui arteri, suara utama ini akan dihasilkan secara terus-menerus. Setiap upaya menghasilkan suara apapun secara instan membangkitkan suara Om di pusat Anahata. Namun, ucapan umum (komunikasi verbal) memaksa dirinya keluar dari sumber ini, lalu beroperasi murni pada tingkat intelektual.
Sebaliknya, mantra, tetap bersandar pada suara Om, serta bekerja pada tingkat itu. Aspek cahaya dari bunyi awal di pusat Muladhara, merupakan benih dari mana dirinya berasal, membentuk dewa yang mampu dirasakan (Dewata). Mantra sebenarnya adalah teknik menonjolkan citra dewa, untuk divisualisasikan. Oleh karena itu, dewa digambarkan sebagai mantra terlihat, sedangkan mantra sebagai dewa verbal.
Setiap huruf alfabet (varna) memiliki potensi membangkitkan aspek dewa; dan mantra, terdiri dari huruf-huruf tersebut (atau suku kata), yang akan mengukur potensi individu menjadi kekuatan kumulatif. Beberapa huruf (suku kata atau fonetik) mampu membangkitkan seluruh dewa, dan mereka disebut benih-suku kata (bija-aksharas).
Mantra sebenarnya merupakan penjabaran benih suku kata. Tujuan dari elaborasi tersebut untuk membantu visualisasi dewa. Dikatakan bahwa mantra tanpa suku kata inti, tidak akan mampu memberikan manfaat, bahkan bila diulang ratusan kali. Mantra seperti itu dikutuk sebagai tanpa kekuatan hidup.
Pengulangan mantra seratus delapan kali, atau beberapa ribu kali, dimaksudkan untuk menyempurnakan kemampuan konsentrasi di mana suara dasar, juga cahaya utama mampu bersatu, sehingga menghasilkan integrasi kembali sistem psikofisik. Pengulangan mantra dikenal sebagai japa (kata Sansekerta memiliki arti bergumam dan berpikir). Tiga jenis japa dikenal:
Diucapkan (vacika), mampu didengar oleh orang lain.
Digumamkan (upamsu), hanya bisa didengar oleh diri sendiri.
Dipikirkan (manasa), keheningan total, memvisualisasikan dewa mantra.
Sedangkan menurut mitologi Manu menyebutkan, bahwa japa diucapkan sepuluh kali lebih mujarab daripada ritual, digumamkan seratus kali lebih baik daripada diucapkan, serta dipikirkan seribu kali lebih unggul, daripada digumamkan.
Purascharana Kunci Menguasai Mantra
Proses khusus pengulangan mantra, dikenal sebagai purascharana, digunakan pada permulaan (purah-sebelum) ritual atau praktik apapun. Tujuannya adalah untuk menghadirkan ke hadapan kita (di hadapan kita, purah) hubungan dekat antara mantra dengan dewa. Mantra sendiri memiliki dua jenis kekuatan: kekuatan fundamental tak terpisahkan, serta kekuatan membangkitkan wujud dewa. Yang pertama bersifat alami sedangkan yang terakhir sebagai hasil diperoleh.
Proses tersebut di atas dimaksudkan untuk mengamankan penyatuan kedua kekuatan. Tanpa pembentukan awal ini, mantra hanya akan menjadi seperti orang sakit, yang tidak bisa menyelesaikan apapun. Ditegaskan kembali bahwa mantra hanya bermanfaat bila diberikan secara seremonial oleh seorang guru kompeten. Kompetensi di sini berarti kesempurnaan dicapai penggunaan mantra (mantra-siddhi), yaitu kemampuan dengan mudah membangkitkan, serta memanfaatkan dewa dari mantra secara bebas.
Ritual inisiasi ke dalam mantra melibatkan pemanggilan dewa oleh guru, kedalam sebuah pot upacara, diisi dengan air suci serta lima jenis batu mulia, pelaksanaan pengorbanan di depan pot, pengulangan mantra oleh guru sebanyak 800 kali, dengan tangan kanannya menutup mulut pot, memandikan pemuja menggunakan air pot tersebut, diakhiri dengan membisikkan mantra di telinga murid oleh guru.
Tiga serangkai (guru, mantra, dan dewa) dikatakan sangat diperlukan dalam praktik spiritual ini. Guru melambangkan jiwa pemuja, mantra adalah pikirannya, sedangkan dewa adalah arus vitalnya. Hanya ketika ketiganya bersatu, kesuksesan terjamin bisa diraih. Akan merugikan bila memandang guru sebagai manusia biasa, dan mantra hanya sebagai susunan suku kata, atau dewa hanya sebagai gambar dari logam atau batu. Namun, sikaplah yang menentukan keberhasilan suatu usaha. “Semua keberhasilan berakar pada tradisi dan keyakinan.”
Mengenal Hakikat Mantra
Mantra dirancang untuk mendatangkan manfaat seperti diinginkan (viniyoga). Sebagai alat menyatukan kekuatan psikofisik dasar, baik di dalam maupun luar tubuh individu. Bentuk eksternal mantra terdiri dari huruf juga kata; terkadang suku kata tidak masuk akal juga bisa dimasukkan (misalnya, “cili cili", “kulu kulu", “ ade adau").
Beberapa mantra mengandung suku kata yang tampaknya mustahil diucapkan: contohnya adalah hrsv phrom sebagai mantra untuk Hanuman, dan kshrv blum mantra untuk Matangi. Akan tetapi, lebih lazimnya, nama atau deskripsi dewa diperkenalkan dalam kasus datif, bersama dengan ekspresi menunjukkan permohonan (namah) atau penyerahan diri (svaha).
Mantra dikelompokkan menjadi tiga jenis: maskulin, ketika diakhiri dengan kata-kata seperti hum, phat, vashat; feminim, ketika diakhiri dengan vaushat dan svaha; dimana mantra netral ketika diakhiri dengan namah. Mantra maskulin khususnya digunakan untuk ritual magis, penyembahan dewa-dewi menyeramkan, serta ilmu hitam. Mantra jenis ini dikatakan memiliki efek kuat juga cepat, tetapi nilai spiritualnya minimal.
Mantra jenis feminim digunakan untuk kegiatan, memiliki manfaat konkret sebagai tujuannya. Mantra netral digunakan untuk meningkatkan kemajuan spiritual.
Selanjutnya Mantra juga diklasifikasikan berdasarkan jumlah suku kata dikandungnya. bila hanya ada satu suku kata, maka mantra itu disebut sebagai Mantra-Pinda; bila dua suku kata maka disebut kartari; serta bila berjumlah berkisar antara tiga hingga sembilan bija, atau melebihi sembilan tetapi tidak lebih dari dua puluh. Bila jumlah suku kata lebih dari dua puluh, maka mantra tersebut menjadi mantra-mala (mantra-genitri).
Untuk mencapai kesempurnaan mantra, disarankan agar mantra tersebut diulang sebanyak lakh (10o.000) kali, atau sesuai dengan jumlah suku kata dalam mantra tersebut. Dimana setiap hari individu disarankan berpegang pada jumlah tertentu tetapi genap, serta tidak pernah dengan alasan apapun melampauinya atau kurang darinya.
Prosedur Menggunakan Mala
Penggunaan Mala (genitri) dianjurkan untuk membantu menjaga jumlah pengulangan. Kerumitan sistem mengenai sifat, bahan, serta memilih genitri (japa-mala) telah berkembang sebagai pelengkap Mantra-sastra. Bahan dari mana genitri dibuat bergantung pada tujuan mantra.
Bertujuan untuk kebaikan umum, serta kesejahteraan spiritual: biji teratai, buah rudraksha, atau tulasi.
Keberhasilan dalam suatu usaha: biji rumput kusa, koral, atau kayu cendana bisa digunakan.
Sukses dalam pembelajaran: kristal dan mutiara.
Kesempurnaan dharma: kulit kerang atau batu mulia.
Memiliki daya tarik kasih sayang: gading dan tulang gajah;
Ritual magis dan ilmu hitam: tengkorak manusia, tulang manusia, atau kayu dari pohon tumbuh di kuburan.
Genitri harus disucikan dengan benar sebelum bisa digunakan secara efektif. Dan setiap kali digunakan, harus terlebih dahulu disembah menggunakan mantranya sendiri: aim drim akshamali kayainamah. Genitri harus memiliki jumlah 108 butir, saat berjapa di pagi hari, diletakkan di dekat pusar, di siang hari di dekat jantung, sedangkan di malam hari di dekat hidung.
Penjapaan harus dilakukan oleh tangan kanan, hanya bagian tengah jari tengah (atau jari telunjuk) bagian atas ibu jari yang boleh memegangnya; bagian tangan lainnya tidak boleh bersentuhan dengan genitri saat digunakan. Ketika sedang berjapa tangan, juga genitri harus disembunyikan dalam kantong kain longgar dikenal sebagai go-mukhi, atau dengan kain. Saat tidak digunakan, harus disembunyikan di tempat ibadah; tidak boleh dikenakan di tubuh atau diperlihatkan kepada orang lain.
Teknik Menggunakan Mantra
Sering kali, mantra harus dituliskan pada daun burja atau pada lembaran logam (emas, perak, atau tembaga): sebagai alternatif, mantra ditulis pada kertas dengan bahan-bahan seperti pasta cendana, dupa atau bubuk kunyit dan susu. Sedangkan dalam ilmu hitam, darah digunakan untuk menulis. Mantra biasanya disertakan dalam diagram yang sesuai (yantra), misalnya teratai dengan delapan atau enam atau seratus kelopak (setiap kelopak berisi satu suku kata mantra), segitiga, lingkaran, atau persegi dengan pintu-pintu di sisinya. Diagram ini dipuja sebelum japa dimulai.
Jumlah total mantra yang mungkin adalah tujuh crore. Beberapa teks menyebutkan jumlahnya lebih tepat yaitu 67.108.863. Tentu saja, sebagian besar mantra tidak bisa digunakan, atau rusak karena satu serta berbagai alasan. Ada sekitar 3.000 mantra telah dibahas dalam manuskrip. Mantra-mantra tersebut dikelompokkan dalam dua kelas utama: jinak (dakshina) dan jahat (vama).
Mantra Dakshina:
Mantra yang lebih umum digunakan, melibatkan dewa-dewi serta ritual-ritual bersifat damai; mantra-mantra tersebut mencegah semua cedera, kekerasan, juga niat jahat. Sedangkan manfaat yang biasanya dicari adalah kemakmuran, umur panjang, kesehatan, kesuksesan duniawi, juga kemajuan spiritual.
Mantra Vama:
Mantra digunakan dalam ritual ilmu hitam, umumnya dikenal sebagai shat prayoga atau enam ritual antara lain untuk:
menenangkan roh-roh agar tidak berbahaya (santi),
Menanamkan rasa kasih sayang kepada orang yang diinginkan (vashikaran),
menahan seseorang dari tindakannya (stambhana),
menyingkirkan musuh dari posisinya (uccatana),
menciptakan permusuhan di antara dua orang (vidarshana).
membunuh musuh (marana).
Banyak risalah membahas secara rinci mengenai jenis mantra digunakan dalam konteks tersebut, metode penggunaan, serta ritual mengerikan yang harus menyertainya. Inilah aspek gelap Mantra-sastra yang memberinya nama buruk. Pembaca yang mudah percaya, serta terlalu antusias perlu diperingatkan, bahwa tidak ada mantra bisa bekerja sesuai harapan kecuali sampaikan dengan benar oleh seorang guru yang kompeten, atau diulang beberapa ribu kali, melalui pengabdian tulus. Sehingga mantra yang diambil dari sebuah buku, selain tidak berguna tetapi juga benar-benar bisa mengganggu.
Kesimpulan
Mantra adalah alat spiritual yang kuat dalam tradisi Tantra, digunakan untuk melindungi pikiran serta membawa transformasi individu. Berasal dari akar kata Sansekerta yang berarti "merefleksikan" serta "melindungi", mantra memiliki kekuatan menyatukan kekuatan psikofisik, serta mencapai kesempurnaan spiritual. Mantra-sastra, ilmu mengenai mantra, mengajarkan berbagai jenis mantra, termasuk mantra jinak (dakshina) demi kebaikan, kemakmuran, serta mantra jahat (vama) untuk tujuan ilmu hitam.
Pengulangan mantra, atau japa, merupakan praktik penting menguasai mantra. Ada tiga jenis japa: diucapkan (vacika), digumamkan (upamsu), dan dipikirkan (manasa). Pengulangan mantra membantu memfokuskan pikiran dengan memvisualisasikan dewa, sehingga mencapai integrasi psikofisik. Mantra juga sering digunakan dalam ritual, bersama diagram (yantra) untuk memperkuat efeknya.
Namun, penggunaan mantra memerlukan bimbingan guru kompeten, serta pengabdian tulus. Mantra yang diambil dari buku tanpa inisiasi tepat, selain tidak berguna tetapi juga bisa mengganggu. Dengan memahami, serta menerapkan prinsip-prinsip Mantra-sastra, kita mampu menggunakan mantra sebagai alat spiritual, untuk mencapai perlindungan, kemakmuran, juga pencerahan.
0 Comments
"Terima kasih banyak telah meninggalkan komentar di blog kami! Kami sangat menghargai partisipasi Anda. Komentar Anda membantu kami untuk terus berkembang dan memberikan konten terbaik. Kami akan segera membalasnya begitu kami online. Tetaplah terhubung dan terus berbagi pemikiran Anda!"