Tantra bermula sebagai alat dalam Rg Weda, dan berkembang menjadi sistem pemikiran spiritual yang komprehensif. Menelusuri jejaknya dari fungsi praktis hingga disiplin ritualistik, menunjukkan bagaimana Tantra menggabungkan pemujaan spiritual, dengan tradisi untuk mencapai keseimbangan spiritual.
Tantra, dalam tradisi spiritual Hindu, memiliki perjalanan sejarah yang unik. Dari pemahamannya seperti alat tenun yang disebutkan oleh teks-teks Weda, hingga maknanya sebagai disiplin spiritual kompleks, Tantra menggambarkan transformasi luar biasa, mengenai pemahaman manusia terhadap bentuk-bentuk ritual, dengan spiritualitas.
Meskipun awalnya hanya berfungsi sebagai istilah praktis dalam Rg Weda, Tantra kemudian mulai merambah pada ritual, menggabungkan berbagai teknik terorganisir kedalam sistem pemikiran, menghubungkan pengabdian, meditasi, juga ritual dengan pengalaman mistis. Artikel ini mengeksplorasi evolusi Tantra melalui berbagai teks klasik, serta pemikir bersejarah, mengungkapkan bagaimana Tantra berkembang menjadi disiplin spiritual kompleks berpengaruh.
Pengungkapan Makna Tantra
Penggunaan ungkapan Tantra paling awal tercantum dalam Rg Weda (meskipun kemunculannya hanya sekali). Konteksnya adalah pekerjaan kasar, disampaikan dengan tutur kata tidak halus, bukan oleh pendeta terpelajar, atau pendeta pengekstrak Soma. Awalnya kata tantra yang digunakan di sini merujuk bentuk sebuah pekerjaan. Sayana (Sayanacarya) dalam komentarnya menjelaskan, bahwa 'tantra' adalah sebuah alat pertanian (semacam bajak atau alat tenun) yang 'dibentangkan' atau 'dibuat' (vistarayanti), atau sekadar 'dikerjakan' (kurvanti).
Sedangkan Atharva Weda menjelaskan kata tersebut dengan lebih spesifik sebagai arti "alat tenun"; dan Panini menganggap kata 'tantraka' berarti sepotong kain yang baru saja diambil dari Loom (alat Tenun), sehingga kemungkinannya ini adalah konotasi asli dari kata tersebut. Namun, Tantra sendiri kemudian keluar dari cangkangnya, dengan seiring berjalannya waktu, menjadi penanda sistem terdiri dari berbagai aspek, seperti misalnya, dalam Apastamba Dharmasutra (sekitar empat atau lima abad sebelum Masehi).
Garis perkembangannya mulai dianggap menarik, karena telah memperoleh keterlibatan ritualistik. Para komentator Apastamba menjelaskan, bahwa ini adalah prosedur ritual dengan berbagai detail. Maknanya kemudian diperluas secara aneh, dalam konteks yang sama seperti diberikan oleh Sabara (Sabara-svamin), seorang otoritas yang sama-sama kunonya, "ketika sesuatu dilakukan hanya sekali saja tapi memiliki banyak tujuan— Itu seperti lampu dinyalakan di tengah para pendeta".
Namun, makna ritualistik Tantra lebih tersirat daripada faktanya. Apa yang dimaksudkan adalah, bahwa bila seseorang tidak mampu menjalani seluruh rangkaian ritual karena suatu alasan, maka pelaksanaan detailnya akan cukup menghasilkan buah yang diinginkan. Sebagai alternatif, Tantra merujuk pada beberapa detail yang digunakan dalam berbagai rangkaian, dengan cara sama tetapi dengan manfaat berbeda.
Rekonsiliasi Tantra Dan Weda
Tantra sebagai disiplin praktis tampaknya merupakan interpretasi lebih baru. Samkhya, misalnya, menyebut dirinya sebagai 'tantra' sedangkan Shankaracharya (akhir abad ke-6) juga mengakuinya demikian, seperti dalam Pancaratra yang berarti lima malam, dikenal sebagai Satvata Tantra. Kautilya (sekitar 300 SM) menggunakan kata tersebut dalam arti kanon fundamental, digunakan untuk menjelaskan, serta menguraikan sistem pemikiran. Penafsiran ini tampaknya telah berkembang, sementara 'tantra' secara khusus, berarti kumpulan pemikiran terorganisasi secara baik, bersama logika, juga alasannya sendiri. Bahkan dianggap setara dengan 'otoritas' atau 'tradisi'. Namun kata tersebut masih agak jarang digunakan secara berkaitan bersama sistem ortodoks.
Pembedaan Kullu Kabhatta (sekitar tahun 1200 M) terhadap tradisi Weda dengan tradisi Tantrik, merupakan pandangan yang berlaku pada abad pertengahan. Dalam banyak karya, istilah 'nigama' berarti Weda, dan 'agama' untuk Tantra. Disini menunjukkan makna ritualistik masih ada, bahkan ketika Tantra mulai menandakan sebuah 'disiplin' yang disampaikan oleh referensi beberapa Purana, dan Bhagavata, mengenai tiga jenis pemujaan, yaitu Weda, Tantrik, dan campuran.
Bisa diasumsikan dengan aman, bahwa pada awalnya segala perbedaan antara tradisi Weda, dengan Tantrik, hampir tidak bisa didamaikan. Masing-masing kubu memandang kubu lainnya sebagai pihak yang bermusuhan, jahat, serta tidak memiliki tujuan. Purana menyatakan bahwa Tantra, hanya disiapkan untuk membingungkan orang jahat (dushtanam mohanarthaya), sedangkan Kularnava menyatakan Tantra seperti istri rumah tangga terhormat (kulavadhu), namun Weda bersama pelengkapnya seperti Purana dan Sastra, menganggap sebagai pelacur biasa (samanya-ganika).
Pandangan ortodoks, terutama dikemukakan oleh Kumarila Bhatta (awal abad keenam), menyatakan bahwa Tantra diperuntukkan bagi orang-orang tidak bermoral, tidak berpendidikan, sesat, atau lemah, dimana seluruh ritualnya penuh dengan berbagai macam bahaya. Namun, para peminat Tantrik berpendapat bahkan hingga sekarang, bahwa Weda, karena sudah kuno, tidak mampu menghasilkan banyak kebaikan.
Jelas ada perebutan kekuasaan, dimana setiap tradisi mempersiapkan diri untuk memenuhi kebutuhan rakyat, serta kaum elit. Sedangkan dalam prosesnya, mau tidak mau, mereka masing-masing meniru satu sama lain, mengasimilasi hal-hal menarik, berusaha meraih otoritas, juga dukungan dari yang lain.
Para penganut Tantrik berusaha menunjukkan bahwa Tantra memiliki dasar Weda, sanksi Weda, juga otoritas Weda. Sedangkan di sisi lain para kaum puritan Weda, juga mengambil alih banyak gerakan tangan (mudra), mantra (mantra), dan diagram mistis (mandala) yang digunakan oleh kaum Tantrik, bersama dengan metode-metode eksposisi mereka. Sikap baru ini diperjelas oleh nasihat Apararka, dalam penjelasannya mengenai Yajnavalkya-Samhita, dimana Tantra tidak boleh dikecam mentah-mentah, meskipun tidak sepenuhnya sah, atau memiliki otoritas seragam.
Rekonsiliasi antara dua tradisi berbeda, sebagian dilakukan oleh otoritas ortodoks yang mengaitkan Tantra dengan 'Saubhagyakanda' dari AtharvaWeda, dan para penulis Tantrik sangat bergantung pada teks-teks Weda seperti Taittiriya Aranyaka, serta menggambarkan kitab suci mereka sebagai kelanjutan dari tradisi Upanishad. Ritual Weda sendiri mengadopsi banyak detail Tantrik, sedangkan Tantra menanggalkan ideologi kasar dari kultusnya, demi aspirasi kerasnya Upanishad.
Transformasi Tantra Terhadap Gayatri Mantra
Transformasi himne Weda Gayatri menjadi dewa feminin, adalah ilustrasi tepat dari adanya rekonsiliasi tersebut. Dalam Weda, himne Surya (dikenal sebagai Gayatri) muncul di beberapa kitab (misalnya RgWeda 3,62, 10; Yajur-Weda 3,35; 22,9; 30,2; 36,3) disebut gayatri karena "himne tersebut menyelamatkan orang yang membacanya" (gayan-tam-trayata iti). Namun, himne tersebut sebenarnya dikenal sebagai gayatra, dan orang yang telah mampu menguasainya disebut gayatrin (atau gayatri).
ॐ भूर् भुवः स्वः तत् सवितुर्वरेण्यं
भर्गो देवस्य धीमहि धियो यो नः प्रचोदयात्॥
oṃ bhūr bhuvaḥ svaḥ tat saviturvareṇyaṃ
bhargo devasya dhīmahi dhiyo yo naḥ pracodayāt
(Om, sang penguasa tiga alam bawah, tengah dan atas. Kita bermeditasi terhadap bentuk pencerahan, yang akan memodifikasi pikiran kita terhadap Sang Pencipta Tertinggi)
Gayatri adalah kata benda maskulin (dapat dibandingkan dengan dehi, "orang yang memiliki tubuh", atau dhani, orang yang memiliki kekayaan") dan digunakan seperti itu dalam konteks Weda (seperti, misalnya, dalam RgWeda, 1.10.1, "gayanti tva gayatrino"). Gayatri juga merupakan meter Weda (memiliki 24 suku kata) yang sering digunakan, meskipun nomenklatur gayatri terbatas pada himne yang telah disebutkan di atas. Himne ini ditujukan kepada Matahari (Savita, oleh karenanya juga disebut Savitri "savituriyam").
Manu (pada abad-abad awal Masehi), misalnya, menyebut himne ini hanya sebagai 'Savitri'. Dimana tidak ada kaitan awal dengan dewa perempuan manapun sama sekali. Namun, Atharva-Weda (19.71.1) telah menggambarkan himne ini sebagai "ibu dari Weda" (Weda-mata), dalam arti sebagai sumber, juga pendukung. Ini menandai jalan di mana doa matahari yang sederhana, berkembang menjadi dewi bergaya, serta ikonik dengan kerangka Tantriknya. Selanjutnya muncullah gayatri khusus untuk beberapa dewa dan dewi, digunakan secara bebas oleh para penyembah Weda, maupun penganut Tantrik.
Ada juga gayatri Tantrik yang khas (seperti "Om Adyayai vidmahe, Tripurayai dhimahi, tanno Kali pracodayat" dan "Om Mahadevyai ca vidmahe, Vishnu-patnai, ca dhimahi, tanno Lakshmih pracodayat") dimasukkan dalam ibadah Weda standar. Gayatri Weda bahkan bisa digunakan dalam praktek ilmu sihir, atau ilmu hitam, di bawah arahan ritual Tantrik (lihat. Vishnudharmottara Purana 1.165.55-63, untuk tujuan abhicara, 'viparitam prayojayet’).
Meskipun kedua kubu bisa selaras sedemikian rupa, namun masing-masing pada hakikatnya tetap tidak kenal kompromi. Contohnya di daerah-daerah terpencil, prasangka terhadap aliran Tantrik, serta Weda ortodok, masih kaku hingga hari ini. Penghargaan atas penyatuan kebijaksanaan Weda, dengan tradisi Tantrik, harus diberikan kepada Shankaracharya (akhir abad keenam). Dimana namanya dihormati tidak hanya dalam tradisi Wedanta, tetapi juga dalam tradisi Tantrik.
Sumber Kebijaksanaan Aliran Tantra
Di samping berbagai komentar terkenalnya mengenai tiga sumber kebijaksanaan Wedanta yaitu Upanishad, Brahma-Sutra, dan Gita, Shankaracharya dikatakan telah menulis karya-karya Tantrik terkenal. Misalnya, Prapancasara Tantra, Saundarya Lahari, juga yang lainnya seperti Stava Chintamani, Lalita-trisati-bhashya, dan Tara-pajhatika (berkaitan dengan pemujaan Tara, Bunda agungnya para penganut Tantra).
Seperti halnya dalam garis guru Wedanta tradisional, garis Tantrik juga didahului oleh orang-orang bijak (seperti Vasishtha, Sakti, Suka dan Vyasa) dan oleh tokoh-tokoh sejarah, (seperti Gaudapada dan Govinda). Akan tetapi dalam tradisi Tantrik, Govinda Bhagavatpada tidak langsung mengikuti ajaran penuh Gaudapada, karena masih ada empat, atau lima guru lain berada di antara mereka. Gaudapada dan Govinda, digambarkan sebagai ahli Tantrik yang agung. Di samping tulisannya dalam Karika (Gaudapada Karika) yang terkenal pada Mandukya Upanishad, Gaudapada dikatakan juga sebagai penulis dua karya Tantrik, Shakti-Sutras (menurut Bhaskararaya Makhin) dan Subhagodaya-stuti. Beliau terkenal sebagai penganut aliran Tantra Sri-Vidya.
Hanya sedikit yang diketahui tentang Govinda di tradisi Wedanta, dimana karya-karya Wedanta-nya tidak bertahan sama sekali, namun memiliki nama besar dalam tradisi Tantrik. Sebuah karya sangat terkenal Jayadratha-yamala dikaitkan dengan dirinya, ditemukan kembali dari Nepal, karya ini menunjukkan dampak dari kultus Trans-Himalaya terhadap tradisi Tantrik murni India. Keberadaan Dewi Tara mungkin diperkenalkan ke daratan India dari daerah Himalaya, sedangkan pencantuman manual pemujaan Dewi Tara kepada penerus Govinda, yaitu Shankaracharya, tidak sepenuhnya fantastis.
Kita tahu bahwa kuil besar di Kanchi (di India Selatan) yang menjadi tempat Shankaracharya bergaul, yang awalnya didedikasikan untuk Dewi Tara. Ada beberapa kuil Tara di negara itu pada suatu waktu, sedangkan nama Shankaracharya dikaitkan dengan sebagian besar kuil tersebut. Shankaracharya sendiri mewarisi ketertarikannya pada Sri-Vidya dari Gaudapada, kemudian memopulerkan pemujaan terhadap Dewi Ibu dalam bentuk diagram mistik Sri-Cakra.
Tidak seperti dalam tradisi Wedanta, Govinda mampu menjadi guru Shankaracharya yang efektif mengenai tradisi Tantrik. Murid langsung dari Shankaracharya, Padmapada, muncul dalam kedua tradisi tersebut. Dalam tradisi Tantrik, Padmapada dianggap sebagai penulis ulasan Prapanca-sara karya gurunya, yang berjudul Sambandha-dipika. Namun masih ada murid-murid Shankaracharya lainnya seperti Bodha, Girvana, Ananda, Vishnu-sarma, Laksmana-desika (penulis Sarada-tilaka, sebuah karya Tantrik standar), Mallikarjuna dari Vindhya, Trivikrama dari Jagannath-Puri, Sridhara dari Bengal, dan Kapardin dari Banaras, yang membantu menyebarkan ajaran Tantrik di berbagai bagian negara.
Pendirian empat atau lima amnaya (pusat pemujaan) di berbagai sudut India, sering kali dikaitkan dengan Shankaracharya, bukan tanpa kepentingan. Semua ini terkait dengan Sakti-pithas (Pusat Tantrik) dan ritual yang dilakukan di sini, memiliki latar belakang kejelasan asal Tantrik. Faktanya, konsep amnaya adalah konsep Tantrik; misalnya, Sri-Vidyarnava-tantra, berbicara tentang lima amnaya, urddhva (dataran tinggi), purva (timur), pas-cima (barat), uttara (utara) dan dakshina (selatan).
Kesimpulan
Perjalanan Tantra dari istilah kerja kasar dalam Rg Weda, hingga menjadi sistem ritual rumit, menunjukkan perkembangan unik dari pemikiran spiritual. Asal mulanya dimaknai sebagai alat untuk pekerjaan sehari-hari, Tantra mulai digunakan dalam konteks ritualistik semakin rumit, hingga pada akhirnya mencapai posisi sebagai ajaran mendalam dari filsafat mistis, juga spiritualitas.
Di abad-abad pertengahan, Tantra telah berasimilasi dengan elemen-elemen Weda, menciptakan perpaduan mengakui nilai tradisi, serta ritual baru. Meskipun sempat dianggap kontroversial oleh para puritan Weda, namun Tantra berhasil berkembang menjadi sistem pemikiran, diakui dengan logika, struktur ajaran tersendiri, juga bertransformasi menjadi suatu disiplin spiritual kompleks. Pada akhirnya, Tantra menjadi jalur penting bagi banyak pencari spiritual, menjadikannya sebagai warisan hidup hingga saat ini.
0 Comments
"Terima kasih banyak telah meninggalkan komentar di blog kami! Kami sangat menghargai partisipasi Anda. Komentar Anda membantu kami untuk terus berkembang dan memberikan konten terbaik. Kami akan segera membalasnya begitu kami online. Tetaplah terhubung dan terus berbagi pemikiran Anda!"