Dharma adalah harmoni dengan alam, sedangkan adharma menciptakan disonansi. Tindakan sesuai dharma menghasilkan karma baik, sementara ketidaksesuaian membawa akibat buruk.
Dharma adalah inti kehidupan manusia, ini menggambarkan keseimbangan antara tindakan, harmoni, juga tanggung jawab. Namun, dharma sering disalahpahami sebagai kewajiban, agama, atau pekerjaan. Lebih dari itu, dharma adalah sifat bawaan, memandu individu untuk menjalani hidup sesuai dengan jati dirinya. Di sisi lain, adharma mewakili ketidaksesuaian dengan hukum alam semesta.
Artikel ini mengupas hubungan mendalam antara dharma, karma, serta konsekuensi tindakan, sekaligus menjelaskan bagaimana dharma menjadi kunci, menemukan jalan hidup sejati. Melalui introspeksi, serta pemahaman mendalam, dharma menjadi panduan universal menuju kehidupan lebih harmonis.
Definisi Dharma Dan Adharma
Karma jahat, dianggap jahat karena akan menjebak individu hari ini, agar terjatuh di kemudian hari. Seperti ungkapan “kita dihukum bukan untuk tindakan kita, melainkan oleh tindakan kita.” Seorang predator dalam satu kelahiran harus kembali sebagai mangsa, untuk memperoleh pandangan dari kedua sudut, untuk melengkapi keseluruhan pengalaman.
Namun karma buruk bukanlah dosa, sampai otoritas pembuat hukum menjadikannya, sebagai sebuah perbuatan dosa. Sedangkan kita menyebutnya sebagai bentuk a-dharma atau melawan dharma, suatu keadaan mencakup seluruh tindakan menghalangi, atau memutarbalikkan arus keberadaan kita.
Melaksanakan Dharma
Sedangkan Dharma, dimana sebagian orang salah menerjemahkannya sebagai “kewajiban”, sedangkan yang lainnya sebagai “agama”, dan yang lain lagi sebagai “pekerjaan”. Namun arti sebenarnya adalah “melakukan apa yang seharusnya individu lakukan sejak lahir.
Kata “Menyesuaikan diri dengan dharma Anda” berarti mengikuti jalan hidup tersebut, dan melakukan tindakan pantas yang paling sesuai, dengan Anda sebagai individu, dalam konteks lingkungan di mana Anda berada. Dharma adalah hukum universal, membuat segala sesuatu menjadi apa adanya.
Contohnya, Dharma dari Bulan adalah bersinar, gunung berapi harus meletus, perahu akan mengapung, Keledai tertawa, Kuda berlari, meringkik, dan mengibaskan surainya, karena hal tersebut merupakan dharma mereka, bukan karena adanya kewajiban moral ke arah tersebut.
Sedangkan Adharma sendiri bukanlah “dosa” atau “jahat”, ini hanyalah sebuah “ketidaksesuaian” dengan sifat dari segala sesuatu, sebuah kejahatan terhadap harmoni alam. Tumbuhan, hewan, mineral, dan segala sesuatu, yang diciptakan untuk mereka, memiliki dharma tidak ambigu, sejauh mereka ada secara independen, dari masyarakat manusia.
Hubungan Karma Dan Dharma
Dharma manusia lebih samar-samar. Karena hal ini melibatkan penyelarasan dharma dari Karma Prarabdha pribadinya, dengan konsensus dharma, yang dibangun oleh informasi masyarakat tempat dia dilahirkan. Agar bisa secara efektif mengikuti dharma sebagai individu, kita perlu mengetahui seberapa besar harus menyesuaikan diri, dengan tuntutan komunitas yang ada.
Antara dua kutub adharma manusia, pengabaian sosiopat yang menguras energi terhadap hubungan manusia, serta kefanatikan penyertaan diri ke dalam kelompok, maka terjalinlah jalan dharma di atas rawa disonansi adharma. Bila salah melangkah di kedua arah dari "jalan yang lurus juga sempit" ini, maka kita akan dianggap terjerumus ke dalam lumpur adharma, baik dengan melanggar prinsip-prinsip keselarasan pribadi sendiri, atau dengan melanggar "aturan" hubungan, yang telah ditetapkan oleh orang lain atau kelompok.
Jalan menuju realitas setiap orang bersifat pribadi, karena dharma seseorang adalah adharma bagi orang lain. Dharma mendahului karma. Sebab, tindakan yang sesuai dengan dharma, akan cenderung memberikan reaksi positif, sebagaimana tindakan yang tidak sesuai dengan dharma, maka akan cenderung menghasilkan hasil tidak menyenangkan.
Manusia adalah makhluk sosial: kebanyakan orang menemukan jalannya menuju dharma, dalam konteks bermasyarakat. Namun, hanya sedikit dharma-nya adalah untuk hidup terpisah. Dharma dari "seorang spiritualis" adalah mati terhadap dunia. Sedangkan bagi "para spiritualis" yang terlibat dalam politik, maka dengan demikian ia melakukan kejahatan terhadap dharma.
Dharma kini bergeser dari sifat bawaan,—yang bisa diketahui melalui introspeksi, menjadi konstruksi eksternal, moralistik, serta tersosialisasi yang dipertahankan oleh pembuat hukum. Para pembuat hukum awalnya mungkin ingin menyederhanakan, kehidupan kelompok mereka yang berorientasi keluar, dengan menciptakan aturan-aturan dharma yang harus diikuti. Sebab, tidak praktis bagi kebanyakan individu, untuk mengetahui sebab, serta akibat secara detail terlebih dahulu. Namun aturan-aturan ini merosot menjadi dogma, dan dosa, kemudian didefinisikan sebagai pelanggaran terhadap aturan-aturan tersebut.
Memahami Dharma Menyelesaikan Karma
Manu Smriti, adalah sebuah Dharmasastra atau risalah mengenai dharma dalam inkarnasi, sebagai hukum agama Hindu yang terkenal, berbicara mengenai karma tetapi berfokus pada dosa, ketika menganggap kelahiran kembali, sangat diperlukan untuk melengkapi hasil dari banyak tindakan. Manuskrip tersebut melihat reinkarnasi sebagai konsekuensi karma pertama, serta terpenting dari suatu tindakan, juga menyarankan pelaksanaan penebusan dosa segera, dengan harapan mampu mengubah hasil dari dosa-dosa ini. manuskrip tersebut merinci beberapa jenis kelahiran kembali, yang diharapkan untuk kejahatan atau keadaan tertentu, menurut lima sistem pembayaran karma berbeda, juga sejumlah aturan lainnya.
Misalnya seorang pencuri, akan terlahir kembali sebagai berbagai macam hewan, dan mereka yang gagal dalam tugas kasta tertentu, akan turun ke rahim hantu kelaparan (preta). Melakukan pencurian terhadap seorang Brahmana bisa dihukum bertahun-tahun di neraka yang mengerikan, setelah itu, akan ada kesempatan untuk mengambil inkarnasi sebagai makhluk rendah akhirnya tiba. Sedangkan Istri yang tidak tahu berterima kasih, akan terlahir kembali sebagai serigala (tidak disebutkan hukuman apa pun atas kurangnya rasa terima kasih seorang suami).
Meskipun banyak orang saat ini dengan gembira yakin bahwa setelah Anda menjadi manusia, Anda akan selalu kembali terlahir sebagai manusia, sebagian besar otoritas spiritual kuno menyimpulkan melalui Manu Smriti, bahwa Anda mungkin harus melalui jalur evolusi terlebih dahulu, sebelum mampu kembali sebagai manusia lagi.
Kesimpulan
Dharma adalah hukum universal, menggambarkan harmoni alami dari sebuah kehidupan, sementara adharma adalah ketidaksesuaian dengan hukum tersebut. Dharma seseorang bersifat unik, tergantung pada sifat bawaan, juga lingkungannya. Tindakan selaras dengan dharma menghasilkan karma positif, sementara pelanggaran terhadap dharma, cenderung membawa konsekuensi tidak menyenangkan.
Dharma tidak hanya terkait dengan sifat bawaan, tetapi juga dipengaruhi oleh aturan sosial, yang diciptakan untuk menyederhanakan kehidupan manusia. Namun, aturan ini sering kali bergeser menjadi dogma menyesatkan, membingungkan, antara dosa juga karma.
Penyelarasan antara dharma pribadi, serta sosial, menjadi tantangan terbesar manusia. Melalui introspeksi, seseorang mampu menemukan dharmanya sendiri, menjalani hidup harmonis, juga menciptakan dampak positif di masyarakat. Dharma adalah peta hidup, memungkinkan manusia berkembang sebagai individu, sekaligus makhluk sosial.
0 Comments
"Terima kasih banyak telah meninggalkan komentar di blog kami! Kami sangat menghargai partisipasi Anda. Komentar Anda membantu kami untuk terus berkembang dan memberikan konten terbaik. Kami akan segera membalasnya begitu kami online. Tetaplah terhubung dan terus berbagi pemikiran Anda!"