Transfer Karma: Pembagian Shakti dan Tanggung Jawab Karmis

Transfer Karma:  Pembagian Shakti dan Tanggung Jawab Karmis

Transfer karma mencerminkan interaksi kompleks antara individu dan komunitas, menunjukkan bagaimana energi spiritual mampu berpindah melalui hubungan dan tindakan.

Transfer karma adalah konsep unik, mengeksplorasi bagaimana energi karma bisa berpindah di antara individu, dalam konteks komunitas, keluarga, dan hubungan spiritual. Dalam berbagai tradisi seperti Hindu dan Buddhisme Mahayana, transfer karma mencakup tanggung jawab bersama, serta manfaat kolektif yang diperoleh melalui dharma, interaksi, atau bahkan hubungan darah. Tulisan kali ini membahas perdebatan mendalam para filsuf mengenai keuntungan, dan kerugian berbagi karma, serta bagaimana makanan, seks, juga hubungan spiritual, telah memainkan peran penting dalam proses ini. Dengan pemahaman mendalam, transfer karma bisa menjadi jendela untuk melihat interaksi, antara individu, serta komunitas.

Memahami Residu Karma

Meskipun tampaknya tidak ada batasan teoritis bagi kapasitas individu, untuk bisa mengidentifikasi diri dengan substansi, tindakan, serta situasi barunya, pertanyaan mengenai pemindahan residu karma, dari tindakan yang telah diidentifikasi sendiri, dari satu makhluk ke makhluk lain, sedikit lebih membingungkan. 


Beberapa manuskrip menolak untuk menerima, bahwa individu mungkin mengalami hasil karma dari tindakan individu lain, sementara manuskrip lain bersikeras bahwa ini harus terjadi. Namun kedua situasi tersebut bisa saja terjadi. Karena tidak seorang pun bisa menjadi begitu tenggelam dalam realitas komunal, sehingga seluruh individualitas akan menghilang, tanpa bisa ditarik kembali, juga tidak seorang pun di dunia ini, bisa menjadi sepenuhnya mandiri, sampai ia mampu terbebas dari semua kebutuhan, untuk mengkonsumsi makanan dari lingkungan tersebut. 


Yang membuat mustahil bisa sepenuhnya membedah karma individu, dari karma komunitasnya adalah, bahwa kenyataannya setiap individu berada di dalam kontinum cair, antara dua kutub saling berlawanan seperti dibawah ini:


Manfaat komunitas ↔ Manfaat individu

Kehidupan transaksional↔ Kehidupan filosofis

Dunia ini ↔ Dunia lain 

Berumah tangga—Meninggalkan keduniawian

Penciptaan ↔ Peleburan

Pravritti↔Nivritti 

Dharma↔Moksa

Pentingnya Hubungan Keluarga (DNA Dan Genetika)

Weda sangat menekankan genetika, dan komunitas, mereka langsung berasumsi bahwa para anggota sebuah keluarga atau klan, akan berbagi satu sama lain, baik karma individu maupun karma yang dilakukan secara bersama-sama. Namun, beberapa manuskrip selanjutnya mengajarkan, bahwa karma seseorang bersifat terpisah, dan tidak bisa dibagi, oleh karena itu mereka melarang perpindahan karma.


“Seseorang menuai sesuatu pada usianya, apakah masih bayi, muda, atau tua, yang telah ia tanam pada kelahiran sebelumnya.... Seseorang dalam hidupnya mendapatkan apa yang ditakdirkan untuk ia dapatkan, dan bahkan dewa pun tidak bisa melakukan sebaliknya.” 

-(Garuda Purana, hal.68).


Buddhisme awal mengambil pendekatan individualis, “Setiap makhluk harus menjadi pulau bagi dirinya sendiri, mengerjakan keselamatannya sendiri... Tindakan baik yang disimpan dengan baik adalah harta tidak dibagi dengan orang lain.”. 


Namun, Buddhisme Mahayana kembali ke pandangan berbasis komunitas tentang karma, melalui cita-cita Bodhisattva-nya. Seorang Bodhisattva memutuskan untuk menanggung beban seluruh penderitaan, serta menawarkan simpanan jasanya kepada orang lain. Mereka yang memiliki kemampuan secara alami menghasilkan, dan menyumbangkan karma baik, bagi mereka yang membutuhkannya, untuk menerima, serta menikmatinya. 

Berbagi Karma Bersama

Tradisi Hindu selanjutnya, khususnya terhadap sekte bhakti (pengabdian), juga berayun kembali dari individualisme karma, menuju pengalaman karma bersama. Baik mereka berkeluarga, dan pertapa, sama-sama memiliki tempat di dunia ini. Para pertapa tidak bisa hidup tanpa keluarga yang memberi mereka makan, pakaian, serta tempat berteduh. Akan tetapi, suatu budaya menjadi sangat materialistis, juga tidak menarik, bila budaya tersebut sepenuhnya terdiri dari mereka yang berkeluarga. 


Para filsuf telah berdebat tentang keuntungan, serta kerugian, dari berbagi karma dengan orang lain. Hidup dalam suatu komunitas membutuhkan perhatian terhadap dharma itu sendiri, juga dharma diri sendiri, hal itu membutuhkan interaksi dengan anggota komunitas lain, di mana individu juga akan terpapar oleh sisa-sisa karma orang lain, begitu juga sebaliknya.


Makanan dan seks, adalah dua cara utama yang membuat karma bisa dibagi. Manu Smriti menyebutkan, bahkan jivanmukta (seseorang yang telah terbebaskan saat masih hidup dari kebutuhan untuk kelahiran kembali) bisa menjadi terikat dengan belenggu samsara (alam semesta dari keberadaan yang terwujud) dengan menerima makanan dari tangan yang salah. 


Sedangkan kesetiaan seksual seorang istri, bisa dikatakan menjadi bagian integral dari karma suaminya. Tetapi kesucian seorang istri mampu mengimbangi dosa-dosa suaminya, dan seorang suami juga bisa dihancurkan oleh nafsu birahi istrinya. Ikatan darah juga memiliki signifikansi sangat besar. Salah satu aturan praktis dalam Jyotisha menyatakan, bahwa sejak lahir hingga usia tujuh tahun dari seorang anak, akan ikut berbagi hasil karma ibunya, dan dari usia tujuh hingga empat belas tahun, karma ayahnya. Hanya setelah usia empat belas tahun (dan pubertas) dia menjadi dirinya sendiri, secara karma. 


Pengalihan pahala dalam sebuah keluarga, tercatat dalam banyak ritual Weda, termasuk persembahan pinda, dilakukan untuk menenangkan leluhur yang mungkin marah atau berniat jahat. Karma juga bisa dialihkan ke arah berlawanan, dalam Kausitaki Upanishad misalnya,  menjelaskan bagaimana seorang putra mewarisi karma ayahnya yang sedang sekarat.

Kesimpulan 

Transfer karma menunjukkan keterkaitan mendalam, antara individu dengan komunitas, di mana energi karma bisa berpindah melalui hubungan darah, interaksi sosial, atau hubungan spiritual. Filosofi ini menunjukkan bahwa tindakan seseorang tidak terisolasi, melainkan memiliki dampak kepada komunitas di sekitarnya. 

Dalam tradisi Hindu, hubungan keluarga, makanan, serta kesetiaan seksual memainkan peran signifikan dalam pembagian karma, sementara Buddhisme Mahayana, menekankan cita-cita Bodhisattva untuk berbagi pahala dengan makhluk lain.

Namun, pemindahan karma juga mengandung risiko. Karma buruk dapat mempengaruhi individu penerima makanan, atau terhubung dengan orang lain yang memiliki beban karmis. Dengan demikian, penting untuk memahami batasan, juga tanggung jawab dalam transfer karma. Kesadaran ini membantu individu menjalani kehidupan seimbang, antara dharma pribadi, juga komunal, sekaligus menyelesaikan sisa karma warisan dari interaksi mereka.


Post a Comment

0 Comments