Tyaga, pengorbanan sejati, adalah pelepasan keterikatan pada hasil karma. Ini membuka jalan menuju kebebasan dan keseimbangan spiritual sejati.
Tyaga berarti "penolakan terhadap hasil tindakan," adalah inti dari pengorbanan spiritual diajarkan tradisi Weda serta Bhagavad Gita. Konsep ini mengajarkan bahwa kebebasan sejati tercapai melalui pelepasan keterikatan pada hasil karma, baik di dunia material maupun spiritual.
Tulisan kali ini mengeksplorasi makna mendalam dari tyaga dalam kehidupan sehari-hari, mengutip kebijaksanaan Sri Krishna, juga mengaitkannya dengan tradisi Tantra serta bhakti. Melalui pengamalan tyaga, individu tidak hanya membebaskan dirinya dari siklus karma, tetapi juga menciptakan hubungan spiritual mendalam bersama Tuhan.
Keikhlasan Menjalankan Ritual (Tyaga)
Semua ritual Veda mengandung tiga unsur dasar: dravya (materi persembahan); devata, (Dewa), dan tyaga (penolakan hasil ritual demi kepentingan dewa). Dimana Tyaga adalah hakikat pengorbanan, marma (inti atau nukleus) dharma adalah tyaga.
Dalam Bhagavad Gita, Sri Krishna menggambarkan tyaga, Beliau mendefinisikan sebagai penolakan terhadap hasil, dari seluruh aktivitas individu, sebagai tujuan akhir hidupnya. Beliau menasehati Arjuna untuk melepaskan keterikatannya, terhadap seluruh akibat potensial dari setiap karmanya, serta hanya memusatkan perhatian pada beliau saja.
“Tinggalkan seluruh kewajiban lainnya, dan datanglah padaku sendiri untuk berlindung. Jangan bersedih, karena aku akan memberikannya kepadamu pembebasan dari segala dosa.”
Meskipun tidak ada jalan keluar dari karma di dunia ini, kita masih mampu membebaskan diri dari seluruh karma lainnya, dengan menyerahkan hasil dari seluruh perbuatan kepada-Nya. Ketika kita mendedikasikan seluruh tindakan tersebut kepada Tuhan, maka tindakan tersebut akan menghasilkan kesejahteraan di segala bidang aktivitas, seperti halnya menyiram akar pohon, yang menyuburkan setiap cabangnya.
Persembahan tersebut akan menciptakan rina, sehingga memberi-Nya kekuatan untuk membantu individu, melalui rahmat-Nya sebagai balasannya. Dimana pertukaran adil bukanlah perampokan. Sedangkan pengorbanan harian Anda atas kepentingan diri sendiri, hanya memberikan rezeki harian kepada dewa, yang setelah beliau “mencucinya” dari vasana (kesan sisa) kemudian mengembalikannya kepada Anda termasuk bunganya.
Satu-satunya ritual yang bisa kita lakukan adalah pencarian, dengan melihat, juga memuja-Nya, pada seluruh wujud makhluk hidup di semua tempat. Ketika berjanji untuk menyerahkan segalanya kepada Tuhan, kita berada dalam bahaya, hanya bila gagal menyempurnakan pemberian-Nya tersebut.
Satu karma tidak bisa diubah hanya dengan menanam sepetak bunga, sebab akibat yang ditimbulkan sudah cukup, untuk menyemai hutan karma baru, juga rangkaian kelahiran kembali lainnya.
Menentukan Tujuan
Namun, bahaya ini mudah diatasi bila kita bersedia memperluas pengabdian melalui komitmen, seperti di ajarkan oleh kepala biara Buddha Zen Harada Sekkei Roshi, ketika beliau menasihati muridnya,
“Mendambakan dharma seperti ikan yang keluar dari air, sedangkan bekerja, seperti ketika rambutmu sedang terbakar.”
Komitmen seperti ini juga telah ditunjukkan oleh para gopi (pemerah susu) di Vrindavana kepada Sri Krishna. Sri Krishna sendiri berkata tentang para Gopi,
“Mereka menginginkan Aku dengan segenap kekuatan pikiran mereka; memandang Aku sebagai nyawa mereka; demi Aku mereka telah melepaskan segala ikatan daging. Aku menghargai serta mendukung mereka yang berkorban untuk-Ku, melalui segala kesenangan di dunia ini juga di akhirat, serta Dharma yang merupakan buahnya.”
(Shrimad Bhagavata X:46:3)
Sehingga pada waktunya, ketika seluruh intensitas, serta pengulangan, dari seluruh pengabdian sepenuh hatinya para Gopi kepada Krishna, telah benar-benar mampu menghancurkan vasana (kesan sisa) mereka, sehingga para Gopi mampu mencapai Krishna, juga mencapai kebebasan.
Sri Krishna juga menyelamatkan Raja Parikesit. Srimad Bhagavata adalah kisah tentang bagaimana Parikesit melepaskan diri dari batasan vasananya sendiri, juga samskaranya. Intensitasnya dirangsang oleh kutukan, bahwa akan mati dalam tujuh hari, dimana pengulangannya disampaikan dalam ceritanya.
Babak pertama dari buku ini menggunakan silsilah, mengetahui silsilah adalah cara membangkitkan, serta melepaskan Kundalini Parikesit dari ingatan leluhur, pola dasar, juga transmigrasinya; babak kedua menyediakan objek baru untuk Kundalini sebagai tempat melekatkan dirinya sebagai bentuk identitas baru, melalui wujud Awatara Wisnu (inkarnasi ilahi). Melalui Buku Sepuluh, menceritakan kisah-kisah kehidupan transenden dari Sri Krishna, Parikesit siap mendengarkan, kemudian berserah diri.
Siapapun senantiasa merenungkan Krishna akan ikut melebur sepenuhnya bersama Krishna. Namun meskipun Beliau adalah Personifikasi Kesempurnaan (Purnatmaka Purushottama), Sri Krishna hanyalah salah satu dari sekian banyak Dewa, kepada-Nya individu bisa berserah diri.
Menyeimbangkan Karma
Sadhana Tantra, juga bisa mengarah pada penyatuan bersama dewa individu, dimana teks Tantra sendiri jarang menekankan metode bhakti. Meskipun teks Tantra cenderung memusatkan perhatian pada transaksi karma, serta pencapaian hasil, sementara teks mengenai Krishna, khususnya Srimad Bhagavata, mengejar tujuan bhakti tanpa batas.
Mereka yang telah mampu menyeimbangkan karmanya (karmasamya) dengan sendirinya mampu melaksanakannya; sedangkan yang tidak mampu, harus mengizinkan Sri Krishna, Dewa Siwa, atau Dasa Mahavidya untuk melakukannya kepada dirinya sendiri. Tantra juga menggunakan heterodoksi sebagai sarana untuk melepaskan diri dari pengondisian masyarakat, dimana para penyembah Krishna tidak punya waktu untuk memikirkan ortodoksi,
“Mempersembahkan suatu tindakan kepada-Ku berarti menyucikannya. kebenaran dalam keadaan tertentu mungkin salah; kesalahan mungkin menjadi benar. Aturan-aturan menyatakan apa itu kebenaran, juga kesalahan, hanya menunjukkan bahwa pembedaan itu tidak didasarkan pada perbedaan hakiki. ... . Apapun yang ditinggalkan seseorang, maka ia terbebas darinya. Ketaatan terhadap hukum ini mengakhiri kesedihan, ketakutan, juga khayalan serta membebaskan manusia dari belenggu.” (Shrimad Bhagavata XI:21:14-18)
Para praktisi Tantra sangat ingin terbebas dari segala bentuk ikatan, perbudakan terburuk adalah terjerat dalam belenggu ideologis kaku, dari spiritualitas penuh perhitungan. Mereka bekerja keras agar tidak dirampas, baik oleh kaum neo-puritan, maupun neo-epikurean (penentang adanya Dewa). Sehingga banyak anggapan bahwa Tantra memiliki hubungan bersama para praktisi ilmu hitam. Tetapi apa yang mampu dipahami oleh mereka, bila hanya memandang, kesucian serta kealiman seseorang dipandang dari cara mereka berpakaian, daripada mereka, telah menganggap penampilan luar hanyalah sebuah topeng.
Srimad Bhagavata menyatakan "Dia yang berbaring di tanah, tidak bisa jatuh, dan tidak ada tanah lebih dalam dari kuburan". Setiap tindakan dilakukan oleh spiritualis sejati, merupakan sebuah alasan telah diperhitungkan, sebuah taktik mengarahkan dirinya ke posisi, agar mampu menghadapi rina bandhana atau lainnya. Hal ini mungkin terinspirasi oleh Sri Krishna, dimana dalam teks-teks bhakti tertentu, digambarkan sebagai "penjahat manis", karena beliau akan menipu individu, agar melaksanakan tuntutan dari hutang karmanya.
Kisah Pria Dan Sandal Butut
Pikiran jujur tidak bisa diungkapkan kepada semua orang di pasar, kemudian berharap memperoleh keuntungan. Meskipun pasar juga membuat individu menjadi curang—tetapi tidak perlu membuatnya menjadi seorang penipu. Tetapi kehidupan disana merupakan kiasan tepat melihat karma masyarakat secara umum.
Ketika ada di rumah atau kantor, cara terbaik untuk menghadapi reaksi karma adalah dengan cara kala, yaitu tipu daya, kelicikan, bukan bala atau kekuatan kasar. Anda jangan pernah mencoba untuk memaksakan masalah, tetapi bernegosiasilah dengan sabar saat tergelincir, serta berusaha meluncur menuju jalan keluar.
Ini ada kisah cukup menarik untuk dijelaskan. Dahulu kala ada seorang pria memiliki sepasang sandal tua, terlalu sering ditambal sehingga tidak ada bagian sol tersisa lagi untuk ditambal. Pria itu kemudian memutuskan, bahwa sudah waktunya membuang sandal tersebut, jadi saat pergi ke kuil untuk beribadah, ia melepaskannya, kemudian meninggalkannya di luar. Ketika keluar, ia sengaja tidak mengambilnya, karena mengira bakal ada orang miskin, akan mengambilnya.
Namun, ada orang suka ikut campur mengejarnya, menyerahkannya kepadanya, dan berkata, "Kamu lupa membawa sandalmu! Tidakkah kamu menyadarinya?" Pria itu berjalan pulang, kemudian menyimpulkan bahwa cara terbaik menyingkirkan sandal itu adalah membuangnya, kemudian membiarkan siapapun mengambilnya. Jadi, ia langsung pergi menuju jendelanya, lalu melemparkannya, tetapi sayangnya sandal tersebut mendarat tepat di atas seorang anak kecil, sedang berjalan di bawah jendelanya bersama ibunya.
Anak dan ibunya itu berteriak sangat keras, sehingga membuat orang berkerumun. Ketika mereka mendengar apa yang telah terjadi, kerumunan orang banyak itu memaki pria itu, karena telah melukai anak yang sangat disayangi ibunya serta tak berdaya. Ibu dari anak itu kemudian memukul pria tersebut menggunakan sandalnya sendiri.
Setelah keributan mereda, pria itu duduk untuk memikirkan situasinya. Ia merenung, "Yang ingin kulakukan hanyalah membuang sandal tua ini, sedangkan akibatnya aku mendapat hinaan, serta pukulan keras. Apa yang bisa kulakukan sekarang?"
Tiba-tiba sandal itu mulai berbicara. Mereka berkata, "Mengapa kau membuat keributan seperti itu? Baiklah, aku tahu bahwa solku telah diperbaiki berkali-kali, sehingga hanya tersisa tambalan. Tetapi sesuatu harus kau lakukan hanyalah, melepaskan seluruh tambalan, kemudian memasang kulit baru, serta memasang sol baru, maka aku akan menjadi seperti baru lagi." seperti itulah akhirnya yang dikerjakan oleh pria itu.
Kesimpulan
Tyaga adalah inti dari spiritualitas sejati, menuntut pelepasan keterikatan pada hasil karma demi mencapai kebebasan, serta harmoni. Sedangkan Bhagavad Gita, Sri Krishna mengajarkan pentingnya menyerahkan seluruh hasil tindakan kepada Tuhan, ini memungkinkan seseorang hidup bersama keseimbangan karma (karmasamya) juga melepaskan diri dari belenggu vasana serta samskaranya.
Pengorbanan ini tidak hanya meringankan beban karma, tetapi juga membuka jalan bagi rahmat ilahi agar bisa bekerja dalam hidup kita. Baik melalui pendekatan bhakti seperti para gopi di Vrindavana, atau melalui pendekatan heterodoks Tantra, setiap tindakan didedikasikan kepada Tuhan, menjadi sarana transformasi.
Tyaga mengajarkan bahwa pengabdian penuh hati, intensitas niat, serta konsistensi setiap pengorbanan, akan membawa individu pada kebebasan sejati, di mana semua keterikatan pada dunia ini lenyap, digantikan oleh hubungan murni terhadap Yang Ilahi.
0 Comments
"Terima kasih banyak telah meninggalkan komentar di blog kami! Kami sangat menghargai partisipasi Anda. Komentar Anda membantu kami untuk terus berkembang dan memberikan konten terbaik. Kami akan segera membalasnya begitu kami online. Tetaplah terhubung dan terus berbagi pemikiran Anda!"