Berkah Sheikh Salim Chishti kepada Kaisar Akbar membawa karma kompleks. Kaisar Jehangir, putra Akbar, menciptakan karma buruk yang juga mempengaruhi Salim Chishti. Berkat spiritual bukan tanpa konsekuensi; emosi serta tanggung jawab harus seimbang untuk menghindari karma merugikan.
Kisah Kaisar Akbar dan Sheikh Salim Chishti, mengajarkan kita tentang kompleksitas karma dalam pemberian berkah spiritual. Meskipun niatnya baik, berkah yang diberikan tanpa pertimbangan matang, mampu menciptakan karma buruk bagi pemberi juga penerima. Tulisan ini mengajak kita merenungkan pentingnya keseimbangan, antara emosi serta kebijaksanaan dalam tindakan spiritual. Dengan memahami hukum karma, kita mampu menghindari konsekuensi tidak diinginkan, juga bertindak dengan tanggung jawab penuh. Mari kita pelajari bagaimana memberi berkah tanpa terjerat karma merugikan.
Memindahkan Berkah
Sekarang mari kita pikirkan sejenak Kisah Kaisar Akbar. Beliau tidak memiliki putra sampai diberkati oleh orang suci Muslim bernama Sheikh Salim Chishti. Setelah berkat itu diberikan sang Ratu akhirnya bisa hamil, tetapi putra orang suci itu sendiri yang baru berusia satu tahun, bernama Balle Miyan, meninggal. Memahami situasi ini, kita bisa mengetahui jenis berkat apa diberikan Salim Chisti kepada Akbar.
Kita tahu bahwa orang suci itu telah menyerap sebagian dari berkat-berkat itu. Dimana karma Akbar telah menghalangi dirinya sendiri, untuk bisa memiliki seorang putra. Karma-karma tersebut akhirnya menghalangi Salim Chishti memiliki seorang putra juga, membuat putranya kandungnya sendiri meninggal. Ini terlihat seolah-olah memindahkan putranya kepada Akbar.
Namun karena Salim Chishti juga, sehingga memungkinkan seorang anak laki-laki terlahir dikeluarga Akbar, maka secara langsung menjadi ikut bertanggung jawab atas beberapa karma buruk dari perbuatan anak laki-laki ini ketika ia menjadi Putra Mahkota, bahkan setelah dirinya memerintah sebagai Kaisar Jehangir. Disini izinkan kami meyakinkan Anda, bahwa Jehangir bertanggung jawab atas beberapa karma sangat buruk. Kami sendiri ragu bahwa berurusan dengan karma-karma tersebut, menyenangkan bagi orang suci malang itu.
Tapi apakah Sheikh Salim Chishti tidak menyadari, konsekuensi dari berkatnya? mungkin saja beliau menyadari, tetapi pasti karena dirinya telah diliputi emosi. Ketika melihat Kaisarnya sendiri mendatanginya tanpa alas kaki, kemudian memohon seorang putra dengan putus asa, ia pasti berkata kepada dirinya sendiri, “Apapun yang terjadi besok, biarlah terjadi, hari ini aku akan membuat orang ini bahagia!”
Hanya orang suci Muslim yang cukup berani memberikan berkat seperti itu; bukan orang Hindu. Mengapa demikian, apakah orang suci Hindu terlalu perhitungan, atau terlalu berhati-hati? Hal ini karena mereka ingin memastikan, siapapun yang mereka berkati akan mampu menangani berkat tersebut. Adalah baik untuk berhati-hati, tetapi luapan emosi tidak bisa mengalir sembarangan.
Kekuatan Bhakti Kepada Tuhan
Namun, bagaimana Salim Chisti bisa diliputi oleh emosi, padahal beliau adalah seorang suci? Bukankah orang-orang suci seharusnya berada di luar emosi? Meskipun benar, bahwa orang-orang suci berada di luar Tiga Guna, atau tiga kualitas dasar realitas fisik serta mental, tetapi hanya mereka, pengikut jalan jnana, atau kebijaksanaan transenden serta tanpa syarat, akan mampu melampaui semua emosi. Sedangkan penderitaan, tetap ada dalam jalan bhakti (pengabdian). Tetapi penderitaan tersebut karena keterpisahan dari yang dicintainya, bukan karena kebencian.
Penderitaan keterpisahan itu begitu dahsyat, sehingga kita menyebutnya mahap-ida (penderitaan besar)—itulah sebabnya bhakti disebut juga sebagai jalan asu ka marga (jalan air mata). Ketika seseorang menjadi begitu mabuk terhadap realitas Tuhan, sehingga air mata kerinduan akan membutakan matanya terhadap dunia, tidak akan melihat apapun kecuali Tuhan dimana-mana ketika ia memandang.
Ketika melihat Tuhan berdiri di hadapan Anda, dalam keadaan menyedihkan, akan mampu menolaknya? justru akan melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk membantu Tuhan tersebut, membuat-Nya bahagia, meskipun tindakan itu, bisa membuat Anda jatuh sengsara. Jangan pernah mendengarkan apa yang sampaikan oleh guru, bahwa Anda harus menjadi dingin serta mati, agar bisa membuat kemajuan spiritual. Mereka bisa mengatakan hal-hal seperti itu, hanya karena telah melupakan apa artinya memiliki hati.
Meminimalisir Dampak Karma
Tahukah Anda? bahwa memberi makan monyet setiap Sabtu selama sepuluh hari Sabtu, bisa mengurangi gangguan Planet Saturnus dalam horoskop. Tetapi kami ingatkan bahwa tidak sembarangan monyet mampu melakukannya, mereka haruslah monyet jenis lutung yang konon juga wujud dari Anjaneya (Hanuman). Lutung adalah hewan vegetarian, meskipun kecil, tapi sangatlah kuat. Beruntung bagi mereka, bila ada sekawanan lutung tinggal di dekatnya, dan mereka hanya akan berkeliaran mencari makanan pada hari Sabtu.
Entah bagaimana mereka mengetahui bahwa Sabtu, adalah hari dimana mereka memungkinkan akan diberi makan. Dengan memberi makan lutung setiap sabtu selama 10 hari sabtu, akan mampu membebaskan seseorang, dari sebagian tekanan karma yang harus dialaminya. Sehingga setiap Sabtu seluruh proses ini akan diulang, serta memberi makanan sesuai dengan ketentuan. Sayangnya, bila kemudian menjadi sembrono dengan beranggapan, bahwa sepuluh hari Sabtu bisa membantu melepas karma buruknya, maka sebelas hari Sabtu atau lebih, tentunya jauh lebih bermanfaat.
Meskipun ada ungkapan, “memberi makanan berlebih jauh lebih bermanfaat.” Tetapi lebih penting adalah melakukan apa yang telah diperintahkan. Hal ini terlebih karena individu tersebut tidak memberi mereka makan karena mencintainya, melainkan untuk keuntungannya sendiri, dan ketika seseorang menjadi rakus, untuk memperoleh lebih banyak keuntungan, maka Alam memutuskan bahwa dia perlu diberi pelajaran. Tidak ada hal lain bisa Anda lakukan kecuali dengan mengunci seluruh pintu, serta jendela rumah, selama 10 hari kedepan menghindari teror.
Semua orang bisa belajar dari kejadian ini. Bahkan belajar untuk tidak mencoba menjadi begitu pintar, mengenai hal-hal yang tidak mampu dipahami manusia secara mudah, seperti hubungan antara monyet dengan Saturnus. Dengan mencoba menenangkan Saturnus, artinya kita sedang mencoba membebaskan diri, dari sebagian tekanan karma yang harus dialaminya. Misalkan Anda ditakdirkan untuk ditimpa batu di kepala. Bila bongkahan batu tersebut sangatlah besar, maka tubuh Anda bisa remuk, tetapi bila hanya kerikil, maka akan langsung memantul.
Begitulah halnya dengan karma. Kecuali ada seseorang mampu menanggung karma itu, maka tidak akan bisa lepas dari efeknya. Tetapi Anda bisa mengurangi efek buruknya, dengan meningkatkan efek baiknya, melalui penggunaan keterampilan sadhana. Namun, ketika gagal melakukan apa yang diperintahkan, maka hasilnya, alam akan memberikan pelajaran, dengan memperoleh masalah, lebih disayangkan adalah, bahwa seluruh usaha Anda akan sia-sia. Namun, itu juga merupakan pengalaman yang diberikan oleh Saturnus kepada Anda.
0 Comments
"Terima kasih banyak telah meninggalkan komentar di blog kami! Kami sangat menghargai partisipasi Anda. Komentar Anda membantu kami untuk terus berkembang dan memberikan konten terbaik. Kami akan segera membalasnya begitu kami online. Tetaplah terhubung dan terus berbagi pemikiran Anda!"