Kitab suci Hindu membahas karma sebagai hukum alam, bukan dosa atau pembalasan. Karma adalah sebab dan akibat, seperti gravitasi. Tanpa penekanan rasa bersalah, karma mengajarkan tanggung jawab. Weda, sebagai dharma abadi, tidak mengenal dosa, hanya kebijaksanaan bertindak menghindari penderitaan.
Hukum Karma dalam agama Hindu sering disalahpahami sebagai konsep dosa dan pembalasan. Padahal, karma adalah hukum keadilan alami, mirip gravitasi, mengatur sebab dan akibat tanpa melibatkan rasa bersalah. Kitab suci Hindu, seperti Weda serta Purana, tidak membicarakan dosa, melainkan reaksi alami dari setiap tindakan.
Tulisan kami kali ini mengajak pembaca, memahami karma sebagai prinsip universal mengajarkan tanggung jawab, juga kebijaksanaan. Melalui pemahaman karma, kita mampu hidup lebih harmonis, menghindari penderitaan, juga menciptakan keseimbangan kehidupan.
Rasa Bersalah dan Dosa
Beberapa kitab suci Hindu membahas mengenai hakikat keadilan ilahi, bahkan menyebutkan hukumannya, karena terlibat tindakan tertentu. Tetapi Kitab-kitab suci tersebut tidak membicarakan mengenai rasa bersalah juga pembalasan; melainkan berbicara mengenai reaksi karma. Karena kitab suci Hindu pada awalnya ditulis oleh para pengamat, yang mampu melihat ke masa depan, serta mengetahui bakal terjadi, bahkan beberapa tulisan anehnya justru bersifat ramalan.
Suatu hari ada seorang teman agama lain, beliau telah membaca banyak kitab suci Hindu, baik Weda maupun Purana (teks klasik), ketika mendiskusikan karma bersama kami, beliau bertanya, "Mengapa Garuda Purana mengatakan, bahwa pria terlalu banyak berhubungan seks akan dibaringkan di neraka, di atas pilar besi membara?" Kami menjawabnya, "Coba, perhatikan diri sendiri! Bila Anda telah melakukan banyak hubungan seksual, sehingga menyebabkan tertular penyakit kelamin. Sedangkan penyempitan disebabkan oleh VD (venereal disease), kemudian dirawat dengan batang baja panas yang ditusukkan ke uretra. Tidakkah kita berpikir bahwa ada semacam hubungan disana?" Beliau pun tidak mampu berkata-kata apapun setelah itu.
Jadi apakah kemudian Anda mulai berpendapat, bahwa tidak ada semacam rasa bersalah dalam agama Hindu? Baiklah, tapi kami luruskan sebentar mengenai konotasi Hindu. Kata Hindu adalah sebuah kata dimodifikasi dari bahasa Persia, berasal kata Sindhu, merupakan nama Sansekerta Sungai Indus. India juga disebut Hindustan, sehingga menjadikan siapapun tinggal di sana sebagai seorang Hindu. Berarti tidak ada agama Hindu, yang ada hanya agama Weda.
Tapi bagaimana dengan tantra? Kita hampir tidak bisa menyebut Tantra sebagai agama, bila tidak memiliki dogma. Namun, kami berpendapat bahwa Tantra hanyalah Weda yang diungkapkan, melalui cara baru serta ekstrem. Dimana menurut bentuk aslinya, Weda sendiri tidak memiliki perintah, sehingga tidak ada dogma untuk berbagi kesalahan, mereka tidak perlu repot-repot mencampuri dosa orang lain. Mereka hanya peduli karma, tetapi tidak ada rasa moral terhadap Hukum Karma, yang ada hanyalah sebab dan akibat.
Pengaruh, Shakti dan Gravitasi
Hukum Karma adalah hukum fisika, serta tidak bisa dinegasikan sebagaimana hukum gravitasi. Kita hanya bisa menghindari Hukum Karma meskipun sementara, sama seperti menghindari hukum gravitasi, tetapi pada akhirnya hukum tersebut selalu kembali pada kita. Misalnya, bila sanggup melompat, maka Anda bisa menghindari gravitasi selama satu atau dua detik, bila mampu terbang tinggi menggunakan pesawat terbang, tentunya bisa menghindari gravitasi selama beberapa jam. Tetapi apapun yang naik, tetap harus kembali turun, bukan?
Bahkan bila mampu pergi ke luar angkasa, Anda masih tetap terpengaruh oleh gravitasi benda langit tertentu. Tetapi seberapa besar kemungkinan bisa terbang ke luar angkasa? Apakah memiliki cukup karma baik untuk itu? Berapa banyak manusia dalam sejarah dunia, berhasil mencapai luar angkasa? Dimana mereka yang mampu pergi, serta bertahan hidup sejauh ini, akhirnya harus selalu kembali ke Bumi, setelah beberapa hari atau paling lama beberapa minggu.
Itu semua hanyalah masalah Shakti. Kita hanya perlu sedikit shakti untuk melompat, tetapi perlu Shakti dengan jumlah sedang agar bisa terbang seperti pesawat. Contoh simpelnya, Anda perlu pengaruh atau uang untuk mendapatkan tiket, sedangkan pengaruh atau uang, juga merupakan jenis Shakti. Namun agar bisa pergi ke luar angkasa, masih dibutuhkan Shakti luar biasa, sedangkan agar terbebas secara permanen dari gravitasi Bumi, saat masih memiliki tubuh fisik, maka membutuhkan lebih banyak Shakti, daripada bisa dikumpulkan oleh manusia manapun sejauh ini.
Kisah Raja Trishanku adalah contoh tepat, karena beliau pernah mencoba mencapai surga menggunakan tubuh fisiknya, didorong oleh kekuatan pertapaan Rsi Vishwamitra, tetapi dimanakah beliau sekarang? Beliau sedang tergantung terbalik selamanya, di antara bumi dan langit.
Sedangkan bagaimana dengan mereka yang pergi ke luar angkasa menggunakan tubuh astralnya, mereka tetap masih dibatasi oleh gravitasi astral Bumi. Agar terbebas secara permanen dari Bumi, bahkan terbebas gravitasi astralnya, adalah sesuatu yang hanya mampu dilakukan oleh para Rsi.
Beban Perasaan Berdosa Dalam Karma
Hukum Karma adalah hukum alam semesta, berdasarkan keadilan ilahi. Suka atau tidak, kita harus mematuhi hukum ini. Bila melanggar Hukum, maka harus membayar denda, tetapi denda itu hanyalah berupa reaksi atas akibat perbuatan yang telah dilakukan, sehingga tidak ada hubungannya terhadap rasa bersalah, serta pembalasan. Karma buruk kita anggap buruk, terutama karena harus membayar harga tagihan sepadan ketika melakukannya. Tetapi karma buruk juga bisa membuat orang-orang di sekitar Anda ikut menderita.
Begitu menyadari prinsip tersebut, Anda mencoba berhenti melakukan karma buruk, itupun bila Anda adalah manusia berakal sehat serta rasional. Saat mengurangi karma buruk, penderitaan juga berkurang secara bertahap, membuat kegembiraan meningkat. Semuanya sangat sederhana, serta matematis. 2+2=4; tidak mungkin sama dengan 3 atau 5.
Sedangkan perasaan berdosa, hanya ketika turut menambahkan rasa bersalah pada karma buruk, ini seperti ketika Anda memberitahu seseorang bahwa tindakan mereka tersebut jahat, sehingga ditakdirkan masuk neraka, karena telah melakukan perbuatan buruk. Ada sejumlah besar rasa bersalah telah disebarkan saat ini, bahkan oleh para guru spiritual yang terus-menerus mengoceh tentang dosa. Tetapi apakah mereka ahli Hukum Karma, sehingga mampu mengetahui, siapa berhak di neraka, siapa masuk surga?
Karena menurut agama berbeda, gagasan mengenai dosa juga berbeda, bahkan bisa bertentangan. Para guru spiritual, telah banyak merusak apa yang tersisa dari agama Weda hanya dengan berusaha mencoba mengaitkannya, melalui ide-ide salahnya untuk dimasukkan ke dalam dogmanya. Agama Weda adalah satu-satunya agama, dimana memberi tahu setiap individu agar mengukir dirinya sendiri tanpa dikontrol oleh pemuka agama, itulah sebabnya agama Weda kekal.
Dilema Dosa Dan Karma
Ada orang suci berkata, “Benci dosanya, bukan orangnya. Tetapi kami bertanya kepadanya, mengapa seseorang harus berpikir tentang dosa? Bila berasumsi bahwa pengikut Anda akan melakukan dosa, bukankah itu justru mendorong mereka melakukannya? Weda adalah dharma abadi karena tidak ada pertanyaan mengenai dosa. Anda bisa menunjukan kepada kami, bahkan satu penyebutan mengenai perbedaan dosa dalam Weda. Mungkin Upanisad, bisa saja menyebutkan hal-hal seperti itu. Karena Kitab Upanisad ditulis oleh murid-murid Maharsi, sedangkan anak-anak pasti melakukan kesalahan. Namun, tidak demikian halnya dengan Weda.
Tetapi, para Rsi memiliki perspektif sama sekali berbeda mengenai keberadaan, dibandingkan apa yang kita lakukan. Ketika dua orang Rsi biasa saling berjumpa, mereka tidak saling menyapa, "Hai, Rsi!" seperti sapaan dilakukan oleh orang-orang zaman sekarang. Mereka saling menyapa sebagai Aryaputra (Putra Sang Adil), atau sebagai Mahanubhava (Berpengalaman Agung). Sehingga betapa mulianya mampu berbicara satu sama lain sebagai, “Berpengalaman Agung!” Karena betapa luasnya pandangan spiritual dibutuhkan.
Namun, bahkan luasnya pandangan tersebut bisa menimbulkan masalah! Ketika orang sudah mulai tidak takut dosa, maka banyak dari mereka, sayangnya mulai percaya bahwa entah bagaimana, mereka merasa bisa lolos dari Hukum Karma. Hal ini cenderung membuat mereka malas menjaga kesuciannya, sehingga menyebabkan karma buruknya terakumulasi. Ini adalah masalah nyata.
Bila terus-menerus membicarakan dosa, bukankah justru cenderung melestarikannya, tetapi bila mencoba mengabaikannya, maka dosa juga cenderung meningkat. Jadi, apa yang harus dilakukan? Bila Anda adalah seorang pemimpin suatu agama, artinya punya masalah besar. Namun, bila seperti kami, maka cukup pikirkan urusan diri sendiri, dan biarkan Tuhan mengurus sisanya.
Rasionalitas Bhagavan Palsu
Ada seseorang mengaku sebagai Bhagawan (Tuhan), sibuk menentang keberadaan dirinya sendiri terhadap sifat Realitas, atau semacamnya. Tetapi, seperti diketahui bahwa Bhagawan sejati hanya berbicara menggunakan Paravani atau ucapan telepati. Dimana Paravani sangat mustahil bisa menentang dirimu sendiri. Hal tersebut tidak bisa dilakukan, karena Paravani adalah Prasadika Vani, atau ekspresi langsung Realitas, sehingga tidak memerlukan media berupa kata-kata sebagai ekspresinya (mengalami langsung tanpa menggunakan kata-kata).
Sehingga kami hanya bisa menyimpulkan, bahwa pendapat Bhagawan ini memang tidaklah rasional. Karena bila alam semesta tidaklah nyata, hanya Tuhan tak berwujud adalah yang benar, maka kami tidak punya apa-apa lagi untuk dikatakan. Karena dengan begitu tidak ada lagi Hukum Karma, tidak ada sebab juga akibat, tidak ada makna bagi seluruh alam semesta yang mungkin bisa saja terjadi. Tetapi bila memang demikian, maka bagaimana seorang Bhagawan turut hadir dari ketidak selarasan? Baiklah, bila alam semesta memang terlihat tidak rasional. Tapi kita sudahi omong kosong tersebut!
Cukup tentang karakter ini, mengapa harus mengotori pikiran kita memikirkannya? Kita punya hal-hal tersendiri untuk dipikirkan, daripada mencari kesalahan orang lain. Alam tahu tugasnya dengan baik. Bila Hukum Karma memang ada, orang tersebut pasti suatu hari akan memperoleh pelajaran seumur hidupnya.
Sekarang perhatikan, bila jari kami menunjuk ke orang lain, kami selalu ingat bahwa ada tiga jari menunjuk ke arah kami, maka hanya satu jari menunjuk ke arahnya. Maka kami memahami bahwa itu adalah ahamkara, ego kami menuduhnya, melalui tuduhan tersebut hanya membuat kami menjadi mangsa hukum aksi serta reaksi. Kami mungkin melukainya dengan satu jari, tetapi melukai diri sendiri sendiri sebanyak tiga kali lipat. Mengingatnya, membantu kami agar tidak menjadi agresif.
0 Comments
"Terima kasih banyak telah meninggalkan komentar di blog kami! Kami sangat menghargai partisipasi Anda. Komentar Anda membantu kami untuk terus berkembang dan memberikan konten terbaik. Kami akan segera membalasnya begitu kami online. Tetaplah terhubung dan terus berbagi pemikiran Anda!"