Pengorbanan bukan hanya soal memberi, melainkan mengembalikan kehidupan melalui cara lebih tinggi. Tradisi Tantra mengajarkan bahwa menghormati kehidupan adalah inti spiritualitas sejati, sementara penyalahgunaan hanya membawa kehancuran karmis.
Tradisi Tantra telah memikat perhatian banyak orang, melalui praktik-praktik penuh misteri, juga kontradiksi. Dalam berbagai ritual-ritual mereka, pengorbanan dianggap sebagai sarana mendekatkan diri kepada Sang Ilahi, namun itu tidak bisa sembarangan dilakukan. Tulisan kali ini mengeksplorasi bagaimana pengorbanan, baik terhadap hewan maupun manusia, dilakukan berdasarkan prinsip spiritual mendalam.
Dilengkapi dengan kisah nyata, tulisan ini menggali sisi tersembunyi dari ritual-ritual ekstrem, risiko karmanya, juga pelajaran spiritual bisa dipetik. Meski penuh kontroversi, tradisi ini mengajarkan tanggung jawab spiritual, serta keseimbangan antara memberikan kehidupan, juga mengambilnya. Mari memahami rahasia di balik keagungan tradisi ini.
Kekuatan Menghidupkan Korban Persembahan
Meskipun Anda memiliki kurban yang layak dalam sebuah ritual pengorbanan, tetapi juga diharuskan memiliki kekuatan, agar mampu menghidupkan kurban tersebut kembali. Begitu juga dilakukan oleh para Rsi, mereka sudah terbiasa mengorbankan hewan, tetapi mereka selalu menghidupkan kembali hewan tersebut setelahnya, melalui penggunaan mantra khusus. Dengan cara seperti itu, maka tidak akan ada noda karma sama sekali.
Hal ini sama seperti ketika Anda membunuh hewan, tanpa mampu menghidupkannya kembali. Misalnya, mengorbankan seekor ayam, memasaknya, lalu mempersembahkannya kepada Sang Mahadewi. Selanjutnya membagikan daging-daging ayam tersebut sebagai prasada (berkah)-Nya, tetapi disini Anda harus tetap menyimpan setidaknya satu tulang kecil. Melalui tulang itu kemudian merekonstruksi wujud ayam, serta menghidupkannya kembali. Ayam tersebut akan hidup kembali, tetapi tidak boleh dikorbankan lagi. Sebaliknya Anda harus melepaskannya, atau memeliharanya, memberinya makan secara layak.
Bila tidak mampu, atau memilih tidak melakukan hal tersebut diatas, maka Anda masih tetap harus menghidupkan kembali hewan itu, tetapi melalui cara berbeda. Cara melakukannya adalah, memastikan bahwa hewan tersebut memperoleh kelahiran kembali lebih tinggi, juga segera. Seperti dilakukan oleh praktisi Tantra, setiap kali mereka memakan sepotong daging.
Bila mengorbankan hewan tanpa memiliki kekuatan menghidupkan kembali, maka kita adalah orang paling bodoh. Orang awam membunuh hanya untuk kenikmatan lidahnya, membuatnya menciptakan karma baru. Mereka memang bisa membunuh, serta memakan dagingnya sekarang, setelah itu giliran mereka dibunuh, serta dimakan kemudian, kelahiran demi kelahiran. Dimana orang bijak menyembelih sebagai upaya penebusan karma, tapi seluruh ritual tersebut diatas hanyalah untuk pengorbanan biasa.
Sedangkan karma pengorbanan manusia, jauh lebih buruk. Pengorbanan manusia atau disebut juga dengan Narabali, merupakan pengorbanan paling sulit. Membunuh manusia itu sendiri merupakan karma mengerikan, tetapi mempersembahkan jiwa manusia kepada Mahadewi, memberikan manfaat luar biasa, baik bagi pemberi persembahan, maupun bagi jiwa yang dikurbankan.
Melakukan Narabali adalah hal baik, tetapi praktisi spiritual hanya bisa melakukannya dengan aman, bila mengetahui secara persis apa saja yang harus dilakukan. Salah satu alasannya adalah, karena hampir semua orang saat ini adalah pashu, (bersifat kebinatangan) artinya mereka tidak bisa begitu saja keluar, kemudian membantai orang lain seperti dilakukan oleh para Begundal.
Konsepsi Ritual Narabali
Sedangkan para Begundal ini adalah perkumpulan rahasia, mempersembahkan orang-orang tidak berdaya, untuk ditumbalkan kepada Dewi Bhawani. Di tangan yang salah, ritual-ritual pengorbanan seperti ini tidak mendatangkan kebaikan apapun kecuali masalah. Ini juga menjadi alasan mengapa hampir tidak ada sekte Tantra tersisa di saat ini, hal ini karena perbuatan salah satu sekte, menculik seorang anak laki-laki, mengorbankannya, kemudian memakannya.
Ketika ibunya yang putus asa mendatangi mereka, menanyakan tentang keberadaan putranya, mereka justru berbohong kepadanya, serta mengatakan bahwa mereka tidak melihatnya. Selanjutnya ibu tersebut mengadu kepada Guru Dattatreya, penganut Tantra pertama di dunia, kemudian menggunakan kekuatan yoganya, sehingga mengetahui apa sebenarnya telah terjadi. Beliau menjadi murka, sehingga secara pribadi membubarkan seluruh sekte Tantra kecuali terbaik.
Jadi apa yang mereka katakan tentang Tantra, beserta pengorbanan manusia itu benar. Meskipun Tantra selalu menyukai Narabali, tetapi tidak ada praktisi Tantra sejati mampu membunuh, tanpa bisa membangkitkannya kembali. Namun ada sekelompok pertapa Tantra, mereka sangat keras menggunakan Narabali, bila mereka memasuki sebuah desa, sementara penduduk desa tersebut tidak menyambut mereka secara baik, beranggapan bahwa mereka hanyalah sekelompok orang gila, berpakaian kumuh, serta berambut gimbal, membuat orang desa tersebut merasa tidak nyaman, kemudian melempari mereka, agar bisa segera pergi keluar dari desa segera.
Tapi apa balasannya, Para pertapa Tantra ini kemudian melakukan homa, bertujuan memanggil dewi seperti Chandi (Dewi Kolera) atau Shitala (Dewi cacar air) untuk menghancurkan desa tersebut. Meskipun tampaknya hal ini tidak bisa memberikan manfaat apapun, tetapi kematian-kematian tersebut sebenarnya tumbal dari ritual Narabali, membuat Mahadewi senang terhadap kelompok pertapa Tantra tersebut. Para korban diuntungkan karena Mahadewi sendiri menjemput mereka, dan pasti diselamatkan. Sedangkan penduduk desa yang tersisa, akan segera sadar setelah beberapa kematian, kemudian belajar bertata krama secara benar. Sehingga setiap orang memperoleh manfaat, tetapi prosesnya menghasilkan karma.
Tradisi Menghormati Tamu
Meskipun cerita diatas tersebut, mampu menghasilkan banyak karma, Karena banyak sekali perbuatan jahat terlibat, seperti halnya dengan kelompok Tantra yang diusir oleh Guru Dattatreya. Bila faktanya penduduk desa tidak bisa menyambut para pertapa itu dengan baik, tetapi apakah menjadi sebuah alasan tepat membunuh penduduk desa? Bukankah seharusnya penganut jalan spiritual, lebih mampu berbelas kasih terutama seorang pertapa?
Baiklah, misalkan Anda sendiri adalah seorang pertapa Tantra, dimana pemujaan terhadap Dewi Chandi atau Shitala telah matang, maka dewi tersebut akan mendampingi Anda selama dua puluh empat jam sehari. Mungkin benar, bahwa penduduk desa tidak bisa menyinggung Anda secara pribadi, tetapi mereka justru menyinggung dewi yang ada di tubuh Anda. Beliaulah yang kehilangan kesabarannya, kemudian melakukan homa, serta memakan seluruh kurban.
Apabila ada seekor harimau masuk ke sebuah desa saat ini, tentunya Anda harus bersikap waspada, serta hormat kepadanya, bukan? Demikian pula, sangat bijaksana bersikap hormat kepada salah satu dewi yang kuat, dalam wujud apapun beliau pilih, untuk menampakkan diri kepada Anda. Memang benar bahwa penduduk desa mungkin tidak meminta para pertapa Tantra tersebut lewat di desanya, tetapi begitu mereka tiba, penduduk setempat seharusnya menyadari konsekuensi potensial karena telah berbuat tidak sopan kepada mereka, dengan mengusirnya.
Bagaimanapun, ini adalah Indonesia. Tidak kekurangan kejadian-kejadian semacam ini. Ingatlah, jangan pernah berteman dengan seorang raja, seorang pertapa, api, atau air kecuali Anda berniat menjaga persahabatan tersebut.
Kekuatan Sebuah Jimat Bertuah
Kakek Guru kami bernama Bappa, beliau adalah orang sakti sekaligus pertapa Tantra, jadi kami harus ekstra hati-hati terhadapnya. Suatu hari beliau sengaja membawa kami ke suatu tempat, di mana bergelimang harta karun sangat banyak terkubur di bawah tanah. Kami melewati tumpukan demi tumpukan batu bata emas, tumpukan permata juga lain-lainnya, tetapi tak seorang pun dari kami berhenti memungutnya.
Kami berdua hanya tertarik pada sebuah jimat, jimat ini berbentuk batu hijau kecil bersinar. Namun, agar bisa mengambilnya, seorang anak kecil harus dikorbankan. Bappa menyuruh kami untuk mengambilnya, tetapi kami menolak. Mengapa harus mengotori tangan kami?
“Baiklah”, katanya, “Mari kita membuat kesepakatan. Aku akan menemuimu, dalam wujud apapun. Tapi kamu harus waspada dan menangkapku, itupun bila kamu mampu, sebagai hadiahnya aku pastikan kamu memperoleh jimat tersebut.”
Sekembalinya ke Denpasar beberapa hari kemudian, baru saja adik lelaki kami keluar untuk membeli makanan ketika tiba-tiba seekor ular hitam besar muncul. Adik lelaki tersebut kemudian kembali ke kamar dan mengatakan ada ular besar di dekat tangga turun tapi tidak agresif. Sayangnya pembantu rumah kami lebih dulu melihatnya, dan mulai berteriak, 'Ular! Ular!' Dia meraih sapu yang tak jauh dari tangga, kemudian mulai memukul ular itu sebelum kami bisa menghentikannya. Ular itu langsung menghilang dan kami menjadi marah: “Sudah kubilang jangan pukul ular itu!”|
"Kau tidak tahu, ular-ular itu bisa saja berbisa. Banyak orang lewat disini, mungkin bisa aja digigit." Tapi, dasar bodoh, bila ular itu berniat menggigit, dia pasti sudah melakukannya saat adik lelaki kami berjalan melewatinya. Apa yang bisa kami lakukan dengan orang-orang seperti itu?
Beberapa hari kemudian kami bertemu dengan Kakek Guru kami lagi. Beliau tampak sangat marah. “Lihatlah apa yang telah kamu lakukan! Sebagian besar punggungku menjadi babak belur, sambil memperlihatkan punggung lebamnya karena dipukuli. "Apa yang bisa kulakukan, Bappa?" Jawab kami kepadanya. "Kami tidak mampu menghentikannya tepat waktu." Perlu diketahui hingga hari ini, tidak seorangpun dari kami memperoleh jimat tersebut.
0 Comments
"Terima kasih banyak telah meninggalkan komentar di blog kami! Kami sangat menghargai partisipasi Anda. Komentar Anda membantu kami untuk terus berkembang dan memberikan konten terbaik. Kami akan segera membalasnya begitu kami online. Tetaplah terhubung dan terus berbagi pemikiran Anda!"