Kutukan Dan Berkah: Rahasia Takdir Tak Terelakkan

Rahwana telah ditakdirkan abadi sekaligus harus mati. Sedangkan kutukan Parashurama kepada Rama justru memicu kisah Ramayana. Kisah kali ini juga mengungkap kerumitan hukum karma —bagaimana berkah, serta kutukan, saling bertautan, bagaimana dewa pun harus tunduk terhadap takdir, juga mengapa, tidak ada yang mampu lepas, dari hukum alam semesta.

Mengapa Rahwana, raja raksasa yang abadi, justru berusaha mati? Mengapa Rama, awatara Wisnu, harus menderita kehilangan Sita? Jawabannya terletak pada hukum karma serta takdir, bahkan dewa pun tidak mampu menghindarinya. 


Tulisan kali ini mengungkap kisah tersembunyi di balik Ramayana—bagaimana kutukan Parashurama justru memicu seluruh ceritanya, juga mengapa Rahwana, sebenarnya ingin dibunuh oleh Rama, kemudian bagaimana berkah, serta kutukan, saling terjalin dalam kerumitan permainan kosmis.

Misteri Tatapan Saturnus Kepada Rahwana

Setelah Rahwana dikuasai oleh pengaruh Saturnus, maka statusnya seperti halnya orang lain; sesuatu telah merasukinya agar membuatnya setuju dengan saran Narada. Sedangkan siapa yang mampu merasukinya adalah pertanyaan lain. Tetapi sebagian adalah dari Swabhawa-nya sendiri, atau sifat bawaannya. 


Rahwana adalah seorang rakshasa, dimana rakshasa selalu suka mempermalukan musuh-musuhnya. Namun, ketika mampu memegang kendali penuh atas Swabhawa-nya, bagaimana dia bisa kehilangan kendalinya hanya dalam sekejap tanpa alasan jelas? Mungkin itu berasal dari kata-kata Saturnus, diucapkan kepadanya melalui perantara Narada. Tetapi yang jelas adalah bahwa begitu Rahwana membalikkan planet-planet itu, tatapan Saturnus tertuju padanya, sehingga sejak saat itu kecerdasannya mulai terdistorsi.


Namun, pengaruh pertama tatapan Saturnus pada Rahwana, sebenarnya datang melalui istrinya. Suatu hari, dia bertanya kepada suaminya, “Kamu sekarang abadi, itu bagus, tetapi kapan kamu terbebas dari keharusan untuk hidup?” Rahwana berkata pada dirinya sendiri, “Ya Tuhan, aku sudah lupa tentang itu!” Dia menyadari bahwa istrinya benar. Selama dia abadi, maka tidak pernah bisa berharap menjadi lebih baik lagi. 


Pemahaman disini adalah, bahwa Anda harus mati bila tidak ingin stagnan dalam kehidupan ini. Dimana Rahwana telah berusaha mengubah sifat bawaannya, agar bisa menjadi salah satu dewa, tetapi Alam tidak mengizinkannya untuk melakukan hal tersebut, karena akan mengganggu keseimbangan Alam. Jadi kecerdasan Rahwana harus diubah. Meskipun tidak ada yang salah dengan keinginan Rahwana untuk mati, tetapi itu tidak pernah terpikir olehnya bila kecerdasannya tidak terganggu.

Kisah Tersembunyi Dari Takdir Rahwana

Pertapaan sebelumnya kepada Dewa Siwa, telah membuat Rahwana abadi sejak awal, sehingga Rahwana kembali melakukan lebih banyak pertapaan kepada Dewa Siwa. Setelah melalui pertapaan yang panjang serta berat, Dewa Siwa kembali hadir menampakan diri kepada Rahwana, kemudian bertanya kepadanya, “Apa yang kamu inginkan?” Rahwana berkata kepada-Nya, “Dewa, tolong beri saya cara untuk mati.”


Dewa Siwa menatapnya dengan penuh curiga, kemudian berkata, “Aku sangat menyesal, tetapi kamu seharusnya memikirkan ini jauh lebih awal. Aku telah memberkatimu dengan kehidupan abadi, seperti engkau tahu bahwa apa pun yang aku katakan harus menjadi kenyataan. Bagaimana aku sekarang bisa menarik kembali kata-kataku?”


Tetapi Rahwana masih bersikeras, sehingga akhirnya Dewa Siwa pun menyerah. Kemudian berkata, “Baiklah. Aku tidak bisa mencabut anugerahku, tetapi akan mengubahnya: Parastri haranam, Ravana maranam (Ravana akan mati bila ia mencuri istri orang lain)


Mendengar anugerah ini Rahwana terkejut, lalu berkata, “Tuhan, saya adalah Raja Alengka, harus memberi contoh bagi rakyatku. Bila saya mengambil istri orang lain, maka rakyatku akan mengikuti, justru membuatku menjadi penyebab banyak kesengsaraan serta amoralitas. Saya tidak akan pernah merendahkan diri dengan melakukannya?”


Dewa Siwa menjawab, “Rama, inkarnasi Dewa Wisnu, akan lahir di Bumi. Engkau akan mengambil istrinya, hal ini membuatnya terpaksa membunuhmu. Kemudian, setelah mati di tangan Tuhan sendiri, kau akan pergi ke surga, diperuntukkan bagi para prajurit yang gugur di medan perang, sehingga pahalamu juga besar. Terlebih lagi, kematianmu akan menjadi peringatan bagi siapa pun yang tergoda, mencuri istri orang lain.”


Begitulah yang terjadi. Hanya karena Rahwana adalah pemuja sejati Dewa Siwa, sehingga memperoleh kesempatan menikmati kematian dengan begitu baik, meskipun caranya tidak baik. Bila Dewa Siwa, sebagai dewa kematian, tidak mampu membuat pemujanya mati dengan baik, lalu apa gunanya Siwa? 


Karena hanya sedikit  yang mengetahui kisah ini, maka semua orang mengira bahwa Rahwana mencuri Sita karena nafsunya. Bila memang demikian, apakah hanya dengan menahannya sebagai tawanan di hutan begitu lama, tanpa terluka? Tidak, ia pasti sudah melakukannya jauh sebelumnya.


Umat Hindu fanatik menganggap Rahwana sebagai simbol ke angkara murka atau perusak. Namun, apa yang mereka ketahui tentang Ramayana. Mereka seperti burung Beo, hanya tahu cara meniru apa dikatakan orang lain kepada mereka.

Pertempuran Dua Awatara Dewa Wisnu

Jadi, takdir Rahwana adalah menjadi abadi, kemudian mati. Meskipun telah melakukan pertapaan luar biasa untuk mencapai keabadian, tetapi tidak pernah mampu menyelesaikannya, kecuali telah ditakdirkan melakukannya, sehingga kematiannya juga sudah ditakdirkan, tetapi ada alasan bagus dibaliknya. 


Tahukah Anda bahwa Rahwana dan saudaranya Kumbhakarna, awalnya adalah Jaya dan Vijaya, dua penjaga pintu Vaikunta Dewa Wisnu. Suatu ketika mereka dengan sembrononya menghina empat Rsi, dikenal sebagai Sanatkumara, bertubuh seperti anak kecil, sehingga kemudian mengutuk pasangan tersebut untuk jatuh ke Bumi sebagai Iblis. Dewa Wisnu merasa bertanggung jawab, sehingga kemudian berjanji juga akan terlahir di Bumi untuk menebus mereka. 


Pertama-tama mereka lahir sebagai Hiranyaksha dan Hiranyakasipu, dimana Dewa Wisnu sendiri membunuh mereka dalam Awatara Babi Hutan, dan Manusia-Singa. Kemudian mereka menjadi Rahwana dan Kumbhakarna, dibunuh oleh Dewa Wisnu dalam inkarnasi Rama-nya. Selanjutnya berinkarnasi lagi, kini Krishna membunuh mereka. Itu adalah wujud dari kutukan serta berkat, untuk tujuh kelahiran sekaligus. 


Kutukan itulah yang menyebabkan juga Rama kehilangan Sita sejak awal. Ketika Parashurama bertemu Ramachandra, mereka kemudian bertarung, membuat Parashurama mengutuk Rama. Dimana Parashurama adalah Awatara keenam Dewa Wisnu, sedangkan Ramachandra Awatara ketujuh. Namun, apakah Anda tidak merasa, bahwa kisah ini terlalu spiritual bagi Dewa Wisnu untuk melawan dirinya sendiri?


Parashurama artinya Rama dengan kapak, makhluk abadi, juga seorang Brahmana, sedangkan Ramachandra adalah seorang Kshatriya, atau seorang prajurit. Karena ayah Parashurama telah dibunuh oleh seorang Kshatriya, maka Parashurama bersumpah menggunakan kapak perangnya membersihkan bumi dari para Kshatriya. Begitu mendengar tentang Ramachandra, seorang Kshatriya muda serta kuat, bentrokan di antara keduanya menjadi tak terelakkan.


Namun, Ramachandra mampu mengalahkan Parashurama dengan mudah, dan merebut Shaktinya Parashurama. Kemudian Parashurama, yang marah karena dikalahkan oleh seorang pemuda yang masih hijau, menatap Ramachandra dan berkata, sambil tersenyum ironis, “Baiklah, anakku, kamu telah mengambil Shakti-ku. Itu tidak masalah. Tetapi kamu akan diusir dari kerajaanmu, serta akan kehilangan Shakti-mu sendiri, disini maksudnya adalah Sita, atau shakti terwujud, sehingga mengalami kesulitan besar memperolehnya kembali. Begitulah yang terjadi. Tanpa kutukan itu maka tidak ada Kisah Ramayana.

Berkah, Kutukan dan Kehendak Alam

Namun, perlu kami perjelas, bahwa ini bukanlah versi cerita Parashurama-Rama, yang tertulis baik dalam Ramayana bahasa Sansekerta karya Valmiki, maupun Ramcharitmanas karya Tulsidas. Dimana kedua teks tersebut menceritakan, bahwa Parashurama menemui Rama dengan kesal, karena telah mematahkan busur Dewa Siwa. Meskipun Parashurama ingin melawan Rama, tetapi dia menolak melawannya bahkan berhasil menenangkannya, sehingga Parashurama kemudian menghadiahkan shakti-nya kepada Rama.


Karena menurut kami juga tidak tepat menolak pilihan ceritanya tersebut, tetapi kami berpikir sebaliknya, bila Rama telah mengambil seluruh shakti Parashurama, bagaimana orang tua itu masih bisa mengutuk Rama?

Karena seperti kami ketahui, bila Rama telah merampas seluruh shakti Parashurama, maka beliau pasti langsung tewas di sana. Tetapi faktanya Parashurama tidak mati, jadi jelas sebagian shakti-nya masih ada. Semacam inti, atau shakti pribadinya, sehingga Rama hanya mengambil shakti hasil pertapaan atau sesuatu seperti itu. 


Sedangkan meskipun tanpa Shaktinya, kata-kata Parashurama tetap bisa memiliki efek kutukan. Karena dirinya begitu kesal sehingga emosinya memuncak serta menguasai dirinya, lalu berbicara melalui hatinya. Bahkan mungkin sebenarnya tidak bermaksud melakukannya; tetapi ada sesuatu menekannya begitu kuat sehingga kutukan itu harus keluar. Tetapi ketika keluar, justru memiliki kekuatan cukup di baliknya agar menjadi kenyataan.


Selain itu, Alam ingin Parashurama kehilangan shakti-nya melalui cara apa pun. Dia dan Rama adalah awatara Dewa Wisnu, tetapi Parashurama telah menyelesaikan pekerjaan yang telah diembannya ke Bumi. Dimana Rama adalah adhikara, atau sosok tepat, untuk mengambil Shakti awatara lebih tua, karena membutuhkan shakti tambahan agar mampu melakukan tugasnya sendiri, yang baru saja dimulai. 


Itu hanya masalah Alam yang menemukan cara mentransfer shakti itu, dari satu ke lainnya. Dalam kasus ini kutukan itu berhasil; sedangkan dalam situasi lain mungkin bisa menjadi berkah. Kami hanya bisa katakan sebagai tanggapan, atas hal ini adalah, Bahwa urusan berkah, serta kutukan ini sangatlah rumit. 

Kesimpulan

Kisah Rahwana dan Rama, bukan hanya sekadar pertempuran antara kebaikan melawan kejahatan, melainkan sebuah permainan karma mendalam. 


Rahwana, meski abadi berkat pertapaannya, justru ingin mati—karena stagnasi menurutnya lebih buruk daripada kematian. Dewa Siwa kemudian memberinya jalan: ia harus mati di tangan Rama, sebagai inkarnasi Wisnu. Tetapi ini bukan sebuah kebetulan, melainkan takdir yang sudah tertulis sejak Rahwana (sebagai Jaya) dikutuk turun ke bumi.


Sedangkan kutukan Parashurama kepada Rama juga bukanlah kebetulan. Meski versi resmi Ramayana menceritakan keduanya berdamai, sebenarnya amarah Parashurama telah menciptakan kutukan: Rama akan kehilangan kerajaannya, bahkan shaktinya sendiri-Sita. Tanpa kutukan ini, tidak akan ada Ramayana. Ini menunjukkan bahwa hukum karma, bekerja melalui secara rumit—kutukan bisa saja menjadi sebuah berkah terselubung, bahkan sebaliknya.


Pelajaran terbesar apa bisa dipetik dari kisah ini:

  1. Takdir tak bisa dielakkan, bahkan oleh dewa sekalipun.
  2. Kutukan serta berkah saling terkait—kadang penderitaan adalah jalan menuju pembebasan.
  3. Kematian bukan akhir, melainkan bagian dari siklus kosmis.

Rahwana sadar ia harus mati, dimana Rama harus menderita kehilangan Sita—semua ini adalah permainan ilahi untuk menyeimbangkan karma. Tak ada yang benar-benar "jahat" atau "baik" dalam cerita ini; semuanya adalah bagian dari rencana besar.


Post a Comment

0 Comments