Rahasia Gita: Melepas Identifikasi Diri

Karma tidak bisa dihindari, tapi bisa dilepaskan. Seperti dalam Rahasia Gita: lakukan tindakan tanpa mengidentifikasi diri dengannya. Bahkan seperti teratai tumbuh di lumpur, kita bisa bertindak tanpa terikat karma. Tantra mengajarkan agar mempersembahkan segala tindakan pada Dewa. Tapi hati-hati: penyangkalan ekstrem, justru berisiko terjerumus karma berlawanan, di kehidupan berikutnya.


Kitab suci sering dibaca tapi jarang dipahami. Dua kata pertama Bhagavad Gita - Dharmakshetre Kurukshetre - menyimpan rahasia besar: bagaimana medan tindakan (kurukshetra) bisa menjadi medan dharma? Jawabannya, terletak pada seni bertindak tanpa mengikat diri pada hasil. 


Tulisan kali ini mengungkap makna sebenarnya dari ajaran Sri Krishna, bahaya identifikasi diri terhadap segala tindakan, serta paradoks spiritual: mengapa pertapaan keras, justru bisa membawa kita pada kehidupan mewah, justru menjauhkan dari spiritualitas di kelahiran berikutnya.

Memahami Makna Dharmakshetre-Kurukshetre

Tetapi bagaimana dengan Kaula atau mereka yang kundalininya telah terbebas dari tiga selubung? Sekarang dengarkan baik-baik: Hanya setelah kita mampu menyadari Shava, atau siapa mayat itu sebenarnya di kehidupan ini, maka akan cukup jelas memahami Kaula.


Semua orang berceramah mengenai Bhagavad Gita, dibacakan Sri Krishna kepada Arjuna, tetapi apakah mereka benar-benar memahaminya? Ambil dua kata pertama saja: Dharmakshetre kurukshetre. Bagaimana mungkin sebuah kurukshetra: tempat di mana tindakan, atau karma, dilakukan, menjadi dharmakshetra: tempat dharma, kebenaran, dan kesucian? 


Tampaknya ini kontradiksi sampai Anda benar-benar memikirkannya secara jelas. Pertama, apa itu kurukshetra? Itu adalah Jantung Anda, dimana terus berdetak—kuru, kuru, kuru, Jantung tersebut bisa menjadi tempat dharma, atau sebuah dharmakshetra, hanya melalui satu cara, yaitu dengan mengikuti nasihat Sri Krishna yang berbunyi, Silakan saja lakukan karma, karena kamu dilahirkan untuk melakukannya, tapi serahkan hasilnya padaku.”


Sedangkan maksud Sri krishna adalah, kita semua bisa melakukan karma sebanyak-banyaknya di alam ini, tetapi jangan pernah mengakuinya. Kita semua menyadari bahwa tidak memiliki cukup hasil pertapaan, agar bisa membayar seluruh akumulasi karma di kehidupan ini, juga sebelumnya, sehingga harus kita serahkan seluruhnya kepada Sri Krishna, agar menebusnya sebagai gantinya. Maka kita semua akan terbebas, tetapi bukan terbebas dari tindakan, melainkan mengidentifikasi diri terhadap seluruh tindakan tersebut. Inilah hakikat Gita. 


Sekarang coba balikkan kata gita (lagu) dan Anda memperoleh kata tyagi (penolakan). Yang harus ditinggalkan adalah, mengidentifikasi diri yang belum tercerahkan ini, melalui tindakan tersebut. Saat ini kita semua adalah kshetra (bidang kegiatan), kemudian harus diubah menjadi kshetrajna (pengenal bidang tersebut). Hanya melalui jnana (kebijaksanaan) maka dharma bisa hadir.

Pola Identifikasi Diri Sendiri

Namun, hanya dengan usaha memotivasi mengatakan kepada diri sendiri bahwa tidak mengidentifikasi diri melalui seluruh tindakan, tentu saja tidak akan berhasil. Ahamkara terus mengidentifikasi diri terhadap tubuh, bahkan dalam taraf terkecil, itupun selama tubuh fisik masih ada. Bila tidak, maka tidak ada satu pun proses di tubuh esensial bisa terus bekerja, artinya merupakan akhir keberadaan fisik Anda sendiri. 


Namun, mengidentifikasi diri seperti ini, justru menciptakan lebih banyak karma, dimana seringkali berakibat fatal secara karma. Ahamkara bebas mengidentifikasi diri dengan apa pun yang disukainya seperti pacar, idola, bahkan musuh, sehingga tidak ada jaminan sama sekali, bahwa ia hanya mengidentifikasi diri melalui hal-hal bermanfaat. 


Bahkan mengidentifikasi melalui gambaran mental juga bisa sangat berbahaya, karena segala bentuk gambaran apa pun dalam pikirkan, kemudian mengidentifikasi diri bersamanya, justru memperoleh kekuatan mempengaruhi Anda. Oleh sebab itu Sadhana sangat penting, karena memberikan Anda gambaran bermanfaat, bagi ahamkara untuk diidentifikasi, karena gambaran yang diberdayakan, bisa sangat membantu.


Contohnya, ketika Anda memuja dewa, maka sepenuhnya mengidentifikasi diri dengan-Nya, maka ahamkara tidak lagi merasa mudah untuk mengidentifikasi diri terhadap tindakan tubuh Anda. Bila Anda telah mampu sepenuhnya mengidentifikasi diri bersama dewa pribadi, maka beliau akan melakukan seluruh pekerjaan untuk Anda, sehingga karma tidak bisa menyentuh Anda. 


Ketika penganut Tantra makan daging dan minum anggur, misalnya, mereka tidak mempermasalahkannya. Karena berpikir dalam hatinya, “Karena Rina Bandhana, maka tubuh harus melakukan hal-hal ini. Aku mempersembahkan semuanya kepada-Mu. Tetapi menjadi lain ketika Anda makan daging kemudian berpikir, “Oh, betapa lezatnya! Aku menyukainya? maka Anda sudah terjerat oleh karma. Dimana karma melekat seperti lumpur. 

Identifikasi Diri Menuju Karma

Bukankah lebih baik menjadi seperti teratai, tumbuh di lumpur, tetapi tidak ternoda olehnya. Lumpur tidak bisa menodai atau mengotori teratai. Selama kita gagal mengidentifikasi diri sendiri, maka bisa tetap menjadi saksi atas seluruh perbuatan yang telah dilakukan, dimana tubuh masih harus terus memenuhi Rina Bandhana-nya selama hidup. 


Tetapi sayangnya apakah begitu mudah bertindak tanpa mengidentifikasi diri sendiri? Ketika melakukan hubungan seks tanpa menyadari diri sendiri, Anda bisa melihat betapa sulitnya hal tersebut. Tetapi apakah jauh lebih baik menikmati sex secara tidak langsung? Bahkan hal itu juga tidak jauh lebih baik; itu juga bisa menjadi karma. 


Pernahkah Anda mendengar pepatah bahasa Marathi merujuk pada seorang Maharaja terkenal di masa lampau: Malle chode, mallerao raje? Sebenarnya Itu benar-benar tidak dapat diterjemahkan, tetapi secara kasar diterjemahkan, “Pegulat melakukan pemompaan dan raja memperoleh kesenangan.” 


Ceritanya begini, Seiring bertambahnya usia, seorang raja  tidak bisa lagi mempertahankan ereksi. Namun, tetap menyukai seks, jadi agar bisa memperoleh kenikmatan secara tidak langsung, perintahkanlah  salah satu pegulatnya untuk meniduri seorang wanita di hadapannya. 


Kepuasan yang diperoleh Maharaja dari jenis seks ini sebenarnya menciptakan lebih sedikit karma daripada harus berhubungan seks secara langsung, bila ia mampu melakukannya. Namun, tetap mengumpulkan karma, karena memerintahkan pasangannya bersanggama. Tetapi bagaimana bila ia kemudian memutuskan, mengintip pasangan lain yang terlibat pelukan seksual? 


Pelanggaran privasi tanpa izin juga menjadi penyebab karma. Kecuali bila kejadian tersebut terjadi di hadapannya, tanpa sengaja melihatnya, maka bisa sepenuhnya terbebas dari seluruh ikatan karma terhadap tindakan seksual itu—dengan catatan, bahwa tidak secara mental mengidentifikasi dirinya dengan pelaku tersebut. Karma adalah masalah identifikasi diri.

Paradoks Spiritual

Jadi, Apakah  lebih baik menghindari seks sama sekali. Mungkin—tetapi itu juga bisa menyeret Anda ke dalam masalah. Kita mengatakan (bertobat untuk kekayaan, dan kekayaan untuk kehancuran). Bagian pertama pepatah ini berarti, bahwa Hukum Aksi dan Reaksi menyebabkan seorang pertapa yang melakukan pertapaan berat di kehidupan ini, menjadi terlahir kembali sebagai seorang pangeran, atau sebagai keturunan dari keluarga sangat kaya. 


Bila telah melakukan pertapaan dengan sangat baik, Anda mungkin memperoleh kesempatan dilahirkan kembali di keluarga pertapa, dimana bisa segera melanjutkan pertapaan tersebut, tepat dari akhir kematian sebelumnya. Namun, seperti dikatakan oleh Sri Krishna dalam Bhagavad Gita, karena hal ini jarang terjadi. Biasanya ini adalah shuchinam shrimatam gehe atau kelahiran dalam kemegahan. Dimana dalam kasus ini Anda bisa menemukan dharma, pekerjaan tepat dalam hidup, hanya melalui anugerah guru.


Tetapi bagaimana pepatah ante matih sa gatih? Bila Anda meninggal, kemudian berencana melanjutkan pertapaan, bukankah akan melakukannya, karena pikiran ketika ajal menjelang menentukan di mana kehidupan Anda selanjutnya?


Tetapi disini siapa bisa menyakinkan, bahwa pikiran terakhir yang dimiliki sebelum meninggal, adalah pertapaan lebih lanjut? Bila Anda telah menghabiskan seluruh hidup dengan membatasi diri, justru mungkin memikirkan pembatasan tersebut ketika meninggal. Dengan, memikirkan pembatasan tersebut sebenarnya Anda sedang memikirkan hal-hal yang dibatasi— justru merupakan tujuan kelahiran baru itu sendiri.

Fakta Mengenai Kebangkitan Spiritual

Bahkan melakukan sadhana (praktik spiritual) di kehidupan ini, bukanlah jaminan bahwa Anda bisa melakukannya kembali di kehidupan berikutnya, karena Hukum Aksi dan Reaksi. Ketika seorang pertapa sangat ketat membatasi makanannya selama satu kehidupan, maka Alam berkata kepadanya di kehidupan berikutnya, “Karena kamu begitu ketat menyangkal dirimu sendiri di kehidupan sebelumnya, sekarang kamu akan menikmati makanan paling lezat. 


Bila kehidupannya saat ini telanjang berbalut kulit atau hanya kain compang-camping, maka akan mengenakan sutra, serta brokat emas bertatahkan permata di kelahirannya berikutnya. Bila tinggal di gua atau beratapkan langit, Alam memberinya istana tempat bermain. bahkan bila selama hidupnya mengenakan cawat, serta tidak pernah bersenang-senang bersama seorang wanita di kelahiran ini, maka di kelahiran berikutnya, dia dikejar oleh banyak wanita, bahkan selama masa kecilnya, mungkin sudah diperkenalkan dengan seks sejak dini. Semua ini juga berlaku bagi wanita.


Tetapi bagaimana terhadap hasil sadhana atau pertapannya? kecuali anak tersebut sangat istimewa, maka dia tidak mungkin mengingat apa pun di kehidupan sebelumnya. Sebaliknya, dia justru terpesona oleh semua keindahan objek indra, ditawarkan oleh Alam kepadanya. Mahadewi begitu murah hati, beliau tidak pernah melepaskan siapa pun dari dunia, selama mereka masih menginginkannya. 


Terjerat kedalam Maya, membuat anak itu tidak bisa mengingat apapun mengenai pertapaan masa lalunya, mereka dikatakan sebagai anak muda, sedang mengalami kebangkitan spiritual karena di gembleng oleh pengalaman hidupnya, seperti kebanyakan orang awam katakan, tetapi itu hanyalah omong kosong. 


Hal itu sudah jelas terjadi karena adanya rina bandhana, serta alam berkehendak agar ia meneruskan pertapaannya, sehingga mampu mengingat sedikit demi sedikit, melalui pengalaman diberikan oleh lingkungan karma dimana ia dilahirkan. Yang aneh adalah ketika dirinya merasa sangat istimewa, karena dianggap masih muda telah mampu menangkap banyak pengetahuan spiritual, namun masih membutuhkan validasi orang lain.


Sementara ia sendiri tidak menyadari bahwa keberadaannya sekarang, sebagai, penekun spiritual, seorang penguasa, atau orang kaya, karena pertapaan masa lalunya. Selama menjalani kehidupan mewahnya, dia akan menikmati pensiun karma sampai seluruh karma baiknya habis. Setelah meninggal, seluruh karma buruk hasil perbuatannya, selama hidup penuh kesenangan, berbalik mengejarnya, membuatnya  terseret ke neraka.


Sedangkan neraka tidak berada di luar angkasa, atau di bawah tanah di suatu tempat, neraka itu ada di sini. Neraka adalah jenis rahim (alam kelahiran), beberapa di antaranya bisa sangat mengerikan. Hanya setelah sebagian besar karma buruknya terbakar habis, maka baru dianggap memenuhi syarat dilahirkan kembali ke dunia, meskipun tidak harus sebagai manusia. 


Jadi, berhati-hatilah! manusia bisa memperoleh masalah bila mencoba melawan Alam, bahkan bila hanya bermaksud mempercepat kemajuan spiritualnya sendiri, kecuali memiliki pemandu kompeten yang terus mengawasi kemajuannya. 

Kesimpulan

Inti Bhagavad Gita terletak pada paradoks: kita harus bertindak, tapi tidak boleh terikat pada tindakan itu. Sri Krishna mengajarkan bahwa pembebasan datang bukan dari menghindari karma, tapi melepaskan identifikasi diri terhadap hasil tindakan. Seperti teratai tidak ternoda oleh lumpur, kita bisa beraktivitas di dunia tanpa terjerat karma.


Praktik spiritual sejati bukan tentang penyangkalan ekstrem, karena:

  1. Penyangkalan berlebihan justru menciptakan karma berlawanan - pertapaan ekstrem, justru bisa terlahir sebagai orang kaya, serta tenggelam dalam kesenangan indria.
  2. Identifikasi dengan gambaran suci (seperti dewa) lebih bermanfaat, daripada identifikasi terhadap tindakan duniawi.
  3. Menurut Tantra, segala tindakan bisa menjadi suci bila dipersembahkan kepada Yang Ilahi.

Kunci kebebasan sejati adalah menjadi saksi atas tindakan sendiri, bukan pelakunya. Namun ini membutuhkan disiplin spiritual tepat, di bawah bimbingan guru kompeten. Sebab tanpa bimbingan, upaya kita terbebas dari karma, justru bisa menjerumuskan ke dalam jaring karma yang lebih rumit serta dalam.


Post a Comment

0 Comments