Karma adalah jejak setiap tindakan. Konsumsi daging tidak hanya memengaruhi tubuh, tetapi juga menanam sifat-sifat kebinatangan yang membatasi jiwa. Kesadaran dalam memilih makanan adalah kunci untuk menciptakan harmoni batin, membayar hutang karma, dan mencapai keseimbangan spiritual yang lebih tinggi.
Kehidupan manusia tidak lepas dari kompleksitas hukum karma, di mana setiap tindakan akan memiliki dampak mendalam pada pikiran, tubuh, serta jiwa. Dalam perspektif spiritual, konsumsi daging tidak hanya mempengaruhi kesehatan fisik, melainkan juga menanamkan sifat-sifat kebinatangan yang membatasi kemajuan spiritual.
Tulisan kali ini mengupas bagaimana pilihan makanan, khususnya daging, berdampak pada energi karma individu, serta bagaimana kita bisa mengurangi hutang karma, melalui kesadaran, serta tanggung jawab. Dengan memahami jejak karma tersebut, kita diajak untuk lebih bijak dalam memilih makanan, juga menjalani hidup selaras bersama alam, sehingga menciptakan keseimbangan antara tubuh, pikiran, juga jiwa.
Pola Karma Dan Dampak Genetik Makanan
Tetapi setidaknya ketika Anda membunuh hama, mereka tidak bisa tetap menjadi manusia terlalu lama. Namun, sebagian besar mamalia tingkat tinggi yang dibunuh, mampu beradaptasi dengan cukup baik terhadap tubuh manusianya.
Kebanyakan orang menyukai daging Sapi juga Babi, sehingga kita tidak terkejut menemukan sejumlah besar manusia memiliki kecenderungan makhluk itu juga. Akan tetapi, baik Babi maupun Sapi untuk sementara terlahir kembali sebagai manusia. Mereka juga tertarik pada daging hewan, yang dulu mereka kenal karena terasa sangat akrab baginya.
Tetapi bahkan manusia baru saja terlahir, berasal dari hewan lain pun menunjukkan semacam kegemaran menyimpang, terhadap daging Sapi atau Babi. Mengapa menyimpang? Pertama-tama, kedua daging tersebut tidak layak untuk dikonsumsi manusia. Dari sudut pandang kesehatan, pola makan daging Sapi atau Babi secara teratur, membuat Anda lebih rentan terhadap penyakit degeneratif seperti radang sendi, rematik, juga asam urat.
Namun, dampak terburuk sebenarnya dari daging Sapi dan Babi, adalah pada pikiran. Salah satu kata untuk Sapi dalam bahasa Sansekerta adalah “go”, juga memiliki arti organ indera. Ini menunjukkan bahwa siapapun pemakan daging Sapi, menjadi lebih bersifat kebinatangan, lebih bersifat fisik, lebih terikat pada dunia indera, beserta objeknya.
Mereka para pemakan daging Sapi, akan merasa sangat sulit mengendalikan inderanya, agar bisa memasuki wilayah astral yang merupakan hal harus dilakukan, bila ingin membuat kemajuan spiritual secara nyata.
Sedangkan daging Babi, bila Anda ingin tahu apa yang bisa dilakukan daging babi kepada Anda, lihat saja babi betina. Dia akan berhubungan seks dengan babi hutan manapun dan kapanpun dia suka, bahkan ketika sedang hamil. Dan ketika dia lapar setelah melahirkan, maka memakan anak babinya sendiri.
Kecenderungan Dari Mengkonsumsi Makanan
Bila Anda mau berpikir secara seksama mengenai seluruh bisnis daging ini, akan menyadari bahwa semakin banyak kekerasan di gunakan untuk mendapatkan makanan, maka semakin banyak kekerasan Anda gunakan, juga alami dalam kehidupan sehari-hari.
Makanan berasal dari kekerasan akan menyebabkan Anda, cenderung menarik kekerasan pada diri sendiri, hal ini juga membuat Anda lebih tertarik, melakukan kekerasan pada orang lain. Misalnya, karena pemakan daging begitu berniat memotong daging, baik dirinya maupun dokter yang merawatnya, biasanya lebih memilih pengobatan secara bedah. Hukum Karma, berisi kutukan dan berkah.
Tapi tahukah Anda? Dahulu kala semua kambing yang telah disembelih oleh manusia, baik melalui pengorbanan ritual, dan makanan, mengadakan kongres. Setelah mereka saling membandingkan catatan mengenai berbagai kesengsaraan, pernah mereka derita di tangan para pendeta, serta tukang jagal, akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan beberapa ritual sendiri.
Jadi, kambing-kambing itu menyelenggarakan Maha Vidweshan Prayoga atau ritual besar untuk menimbulkan kebencian serta perselisihan, dan mengalamatkan hasil ritual ini kepada umat manusia, sehingga manusia akan saling membantai, seperti mereka membantai para kambing.
Kambing-kambing tersebut tampaknya telah melakukan pekerjaan yang cukup baik, dalam menyebarkan pertikaian melalui prayoga (ritual) mereka. Kami juga berpendapat, sampai orang-orang berhenti makan daging, maka populasi dunia tidak akan pernah turun, tidak peduli apapun pemerintah coba lakukan.
Generasi Pemakan Daging
Seperti kita ketahui bahwa hewan senang berkembang biak, dan ketika mereka menjadi manusia, akan cenderung mempertahankan banyak kesan, dari kehidupan hewan mereka sebelumnya, termasuk terutama hasrat berhubungan seks. Sehingga tidak peduli seberapa keras pihak berwenang berusaha mendorong pengendalian kelahiran, tapi itu tidak bisa membantu. Bahkan aborsi juga bukan jawabannya!
Meskipun terkadang aborsi mungkin diperlukan, dan tentu saja tidak akan terlalu buruk bila dilakukan sebelum bulan keempat. Karena Sebelum bulan keempat, jiva (jiwa individu) tidak begitu erat terhubung dengan janin sampai fetus mulai bergerak. Namun, karma untuk aborsi yang dilakukan setelah fetus bergerak kemudian, dimana jantungnya mulai berdetak, sama dengan pembunuhan. Begitu juga dengan Hitler yang seorang vegetarian. Ya, kami mengetahui itu. Makan daging hanyalah salah satu faktor menyebabkan perang, tetapi itu adalah faktor signifikan.
Beberapa orang bersikeras bahwa manusia paling awal adalah pemburu-pengumpul, dimana makanannya hampir seluruhnya terdiri dari daging. Tapi ada keraguan besar di antara para ilmuwan modern, bahwa manusia purba adalah karnivora sejati. Kami pribadi percaya bahwa manusia primitif di Indonesia, tidak pernah makan daging. Sebaliknya, ia hanya makan umbi-umbian, akar-akaran, serta buah-buahan, ketika menyadari apa perbuatannya, mereka mulai hidup hanya dengan udara. Sehingga kecerdasan bangsa kita, bisa dilihat dari peninggalan sejarah yang menakjubkan, meskipun sayangnya tidak ada upaya berkelanjutan menjadi bangsa besar.
Akan tetapi, kami juga tidak akan heran, bila di kebanyakan negara lain orang-orang menjadi semakin primitif, bukannya semakin terpelajar seiring berjalannya waktu, dengan mulai membunuh serta memakan hewan. Akan tetapi jangan berpikir bahwa keyakinan kami ini, dianggap sebagai semacam penganut paham pasifisme lemah lembut.
Hukum Tiga Tangan
Meskipun kami sendiri kadang-kadang masih makan daging, tetapi itu kami lakukan hanya bila kami yakin, hanya melalui cara tersebut untuk menyelesaikan Rina Bandhana tertentu. Selain itu, kami tahu cara memakan daging tersebut agar tidak mengotori pikiran.
Kami juga tidak melupakan Hukum Karma, karena setelah memakan daging itu, kami selalu membayar utang kepada hewan yang dimakan dengan memastikan, ia akan segera terlahir kembali di rahim lebih tinggi.
Setiap pemakan daging, yang tidak mampu merawat hewan dimakannya, hanya menciptakan masalah besar. Misalnya, kami meminta Anda untuk memakan daging, maka kami harus bertanggung jawab atas kesejahteraan hewan tersebut, bahkan bila kerongkongan Anda sendiri, menjadi biang penyebabnya, oleh sebab itu kami harus mengajari Anda cara membayar hutang kepada hewan itu, tapi ini belum siap kami lakukan.
Namun, mungkin ada saatnya kami akan menyarankan memakan sepotong daging tertentu, hal itu untuk menyelesaikan Rina Bandhana tertentu. Dalam kasus tersebut, kami bertanggung jawab secara pribadi atas hewan itu, juga melakukan ritual tertentu untuknya, juga bagi Anda, bila pencernaan mentalnya belum cukup kuat menangani dagingnya.
Karena membunuh hewan jauh lebih buruk, daripada sekadar menikmati dagingnya, maka umat Buddha memiliki Hukum Tiga Tangan. Mereka mengatakan bahwa tiga tangan ikut serta dalam menyiapkan daging untuk meja makan:
Tangan penyembelih,
Tukang daging,
Juru masak.
Setiap orang ini mengambil bagian dari karma daging, sehingga pemakan daging sendiri, hanya menanggung karma jauh lebih sedikit, dibandingkan bila pemakan daging ini sendiri membunuh, mengolah, serta menyiapkan daging tersebut. Inilah sebabnya kami juga diberitahu bila ingin makan daging, kita tidak boleh memilih hewan hidup, atau memerintahkan tukang daging, untuk membunuhnya.
Karena itu adalah tindakan mengidentifikasi diri dengan karma, artinya niat bahwa “hewan ini harus mati untuk saya” hanya akan memperbesar efeknya. Kami lebih menyarankan orang lain untuk melihat tempat penyimpanan daging, serta melihat apa saja yang tersedia. Bila tidak ada daging apapun di sana, maka Rina Bandhana Anda, hanya ada pada hewan lain, selain tubuhnya tergeletak di sana, atau Anda harus menunggu sampai nanti, agar bisa makan daging.
Kesimpulan
Karma adalah penghubung tak terlihat, antara tindakan manusia, dengan konsekuensi yang mengikuti. Konsumsi daging, khususnya, membawa dampak besar, baik secara fisik maupun spiritual. Secara fisik, daging mampu memicu penyakit degeneratif. Secara spiritual, konsumsi daging memperkuat ego, serta keterikatan indera, sehingga menghambat kemajuan jiwa menuju kesadaran lebih tinggi.
Dalam hukum karma, setiap pembunuhan hewan akan membawa konsekuensi, tidak hanya bagi pembunuhnya, tetapi juga bagi keseluruhan terlibat dalam proses tersebut. Oleh karena itu, pilihan makan bukanlah sekadar soal rasa, tetapi juga tanggung jawab, atas keseimbangan karma, serta kesejahteraan makhluk hidup lainnya.
Kesadaran dalam memilih makanan, terutama menghindari daging, menjadi langkah penting untuk melepaskan diri dari ikatan karma negatif, serta mencapai harmoni batin. Dengan begitu, manusia mampu mendekati takdir lebih baik melalui tindakan sadar, selaras dengan alam.
0 Comments
"Terima kasih banyak telah meninggalkan komentar di blog kami! Kami sangat menghargai partisipasi Anda. Komentar Anda membantu kami untuk terus berkembang dan memberikan konten terbaik. Kami akan segera membalasnya begitu kami online. Tetaplah terhubung dan terus berbagi pemikiran Anda!"