Karma dan Keadilan: Kebijaksanaan Akbar Dan Prithviraja

Karma dan Keadilan Kebijaksanaan Akbar Dan Prithviraja

Kebijaksanaan sejati melampaui kekuasaan duniawi, seperti kisah Raja seperti Akbar dan Prithviraja Chauhan, membuktikan mematuhi hukum karma, menahan nafsu balas dendam, membawa kehormatan sejati, bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi.


Kisah tentang raja bijaksana seperti Akbar, serta Prithviraja Chauhan, mengajarkan kita terhadap nilai-nilai luhur, karma, serta keadilan sejati. Dari keputusan Akbar yang menolak menjadi Raja haus darah, hingga perjuangan Prithviraja melawan takdir, keduanya mencerminkan prinsip universal bahwa tindakan memiliki konsekuensi. 


Melalui kisah-kisah tersebut, kita belajar bahwa kebijaksanaan sejati tidak hanya diwariskan melalui darah, tetapi juga melalui karma masa lalu. Meskipun harus menghadapi tantangan besar, para pemimpin ini menunjukkan bagaimana kehormatan, serta integritas mampu membimbing mereka menuju kebesaran. 


Mari kita renungkan pelajaran dari kehidupan mereka, yang masih relevan hingga saat ini, sebagai pedoman moral serta spiritual.

Kisah Kebijaksanaan Kaisar Akbar

Sekarang mari kita ambil contoh praktis, agar para pembaca mampu memahami secara tepat maksud kami. Mohammed Jalal-ud-din Akbar, raja terhebat di antara para Mughal Agung, beliau adalah seorang penguasa sejati. Meskipun tumbuh bersama orang-orang paling kejam, di antara paling kejam, beliau sangat keras terhadap hal-hal tertentu, tetapi Akbar tidak pernah dikuasai oleh sifat haus darah. 


Pada usia tiga belas tahun, beliau telah mampu merebut kembali kerajaan ayahnya dari tangan penguasa Hindu, Hemu. Ketika penasihat Akbar, juga mentor masa kecilnya bernama Bairam Khan, menyeret Hemu yang telah kalah perang kehadapan Akbar, kemudian berkata kepadanya, “Potong lehernya secara pribadi, tuanku, dan jadilah ghazi (gelar yang diberikan kepada seorang Muslim, setelah membunuh seorang kafir).” Namun Akbar berkata kepada Bairam Khan, “Saya bukanlah tukang jagal, apalagi membunuh tawanan tidak bersenjata. Biarkan tukang jagalku saja melakukannya?”


Hampir 99,9% penguasa yang tidak memiliki kemuliaan sejati, justru  menghancurkan diri mereka sendiri; hanya orang-orang langka, seperti Akbar, memiliki gambaran mengenai apa sebenarnya terjadi. Akbar adalah seorang raja sejati, dimana kehidupan harus dijalaninya adalah jenis kehidupan disebut shahi  (agung). Meskipun pada usia mudanya, Akbar mungkin tidak mengetahui apapun tentang Hukum Karma, tetapi tampaknya memiliki pemahaman alami, mengenai tindakan benar atau salah.


Kerajaan sejati selalu langka di antara para penguasa, terutama sepanjang sejarah, bahkan kita tidak melihatnya sama sekali di antara para penguasa saat ini. Jadi tanyakan pada diri Anda sendiri sekarang, bagaimana kita mampu melihatnya pada sosok Akbar? Di satu sisi keluarganya, ia adalah keturunan Genghis Khan, sedangkan di sisi lain dari Tamerlane, keduanya penakluk terkejam serta haus darah. Mengapa Akbar, justru tidak menunjukkan sifat-sifat barbarisme leluhurnya, dalam hidupnya sendiri. Hal ini berbanding terbalik, meskipun menunjukkan bahwa Akbar ikut mewarisi keahlian mereka dalam strategi pertempuran? Tapi Jawabannya tidak terlalu sulit. 

Kisah Raja Agung Prithviraja Chauhan

Dalam kehidupan sebelumnya, Akbar adalah Prithviraja Chauhan, kaisar Hindu di India Barat Laut. Prithviraja adalah seorang Rajput, seorang Ksatria dari India Barat, menunjukkan semua sifat-sifat mulia diwarisi para penguasa Rajput sebelum kelahirannya. Sehingga Akbar ikut mewarisi sifat-sifat tersebut dari inkarnasi sebelumnya, membuat sifat-sifat tersebut cukup kuat, untuk menutupi warisan kekejaman para leluhurnya.


Kisah Prithviraja sendiri sangatlah mendidik. Mirip seperti Akbar, seorang raja besar memiliki banyak sahabat, namun dikalahkan dalam pertempuran, dibutakan, serta dipaksa untuk bunuh diri bersama sahabatnya. Beliau seorang pejuang tangguh, cakap, serta mampu mempertahankan kerajaannya dengan baik. Bahkan para sahabatnya telah mencapai keberhasilan dalam pemujaannya terhadap salah satu aspek Mahadewi. 


Dewi Chamunda, adalah salah satu aspek Mahadewi berwujud mengerikan, serta merusak, menampakkan dirinya kepada jenderal Prithviraja, bernama Chamunda Rai, dimana setiap hari selalu menyegarkan serta menasihatinya. Aspek Mahadewi lainnya ikut menampakkan diri setiap hari kepada Chanda Barot, penyair Prithviraja, Mahadewi telah memberikan lebih banyak shakti guna memperkuat otoritasnya. Memiliki shakti begitu kuat di bawah kekuasaan Prithviraja, lalu apa yang salah? Bagaimana dia bisa ditaklukkan? 


Kami akan memberitahu Anda mengapa. Prithviraja kehilangan tahta, penglihatan, serta hidupnya, karena hanya menculik seorang wanita. Beliau menculik istrinya sendiri bernama Sanyukta dari istana ayahnya. Ini tidak diragukan lagi merupakan kebiasaan pada masa lalu, tetapi itu tetap karma. 


Bila kita ingat kembali pada masa Mahabharata, pahlawan besar Arjuna memuja saudara perempuan Dewa Krishna, yaitu Subhadra. Memang benar bahwa Arjuna melakukannya atas dorongan Krishna, tetapi karma adalah karma. Lalu apa hasilnya? Musuh-musuh Arjuna bersekongkol untuk mengisolasi Abhimanyu, putra Arjuna dari Subhadra, di medan perang, kemudian membunuhnya di sana. Disini kita bisa memahami bahwa untuk memperoleh shakti tidaklah begitu sulit. Namun,  mempertahankannya bukanlah hal mudah, kita mengetahui bahwa Mahabharata adalah salah satu dua puisi epik besar, juga berasal dari India.

Persepsi Kutukan Dan Berkah

Namun, bagaimana tepatnya kehancuran Prithviraja Chauhan. Hal tersebut terjadi karena Ayah Sanyukta sangat membenci Prithviraja. Ketika mengadakan swayamvara (sayembara-pilihan pribadi) untuk putrinya, ia memutuskan untuk tidak mengundang Prithviraja. Dalam upacara swayamvara, seorang gadis bebas memilih suaminya sendiri, diantara sejumlah pelamar dianggapnya memenuhi syarat. 


Sedangkan untuk menghina keberadaan Prithviraja, ayah Sanyukta dengan sengaja memerintahkan pembuatan patungnya, kemudian memasangnya di luar pintu gerbang istananya, serta memberi tahu seluruh pengunjungnya, “Lihat, Prithviraja adalah penjaga pintuku, bagaimana mungkin akan menikahi putriku?”


Hal ini karena kitab hukum menyatakan, bahwa seorang penjaga pintu dianggap sebagai kasta rendah, sehingga tidak layak menikahi seorang putri. Namun, Prithviraja bukanlah tipe orang mudah menyerah. Ia tetap datang dengan cara menyamar ke swayamvara, bersama Chanda Barot, juga beberapa pendukungnya. 


Sanyukta, diberitahu secara diam-diam mengenai rencana itu, lalu berpura-pura berkeliling di antara kumpulan para pangeran, mencoba memilih, sampai ketika tiba-tiba ia menghiasi patung Prithviraja tersebut! Hal itu memicu keributan besar, hingga meluas menjadi perkelahian, ketika Prithviraj Beserta anak buahnya muncul, kemudian melarikan diri bersama Sanyukta. Mereka melarikan diri ke kerajaan Prithviraja, tempat mereka akhirnya menikah.


Tapi tunggu dulu, bila Sanyukta pergi bersama Prithviraja secara sukarela, bagaimana ayahnya menggapnya sebagai penculikan? Apakah Sanyukta adalah harta milik ayahnya, seperti ungkapan umum bahwa anak gadis adalah harta milik ayahnya, sehingga bisa melakukan apapun yang ayahnya inginkan terhadapnya?


Itu bukan alasan sebenarnya. Bila memang demikian, maka tidak akan ide menyelenggarakan swayamvara. Namun, ayah Sanyukta melihatnya sebagai pencurian karena kebenciannya, sehingga bertindak sesuai dengan itu. Ini lebih seperti, bila suatu hari Anda menemukan barang di jalan umum, maka kami bisa menuduh Anda telah mencuri, hanya karena salah mengira, bahwa barang Anda temukan tersebut adalah milik kami.


Mengapa tidak? Ingatlah, hampir seluruh karma adalah kutukan, serta berkah. Tidak ada hukum mengatakan, bahwa kutukan atau berkah, harus didasarkan pada persepsi jelas. Bila orang-orang memiliki persepsi benar-benar jelas, maka mereka tidak akan pernah saling mengutuk. Bahkan berkat atau kutukan salah arah pun, mampu menghasilkan efek bila cukup kuat. 

Pentingnya Menjaga Persahabatan

Perlu diingat bahwa besarnya berkat, atau kutukan, menentukan besaran dampaknya. Kata-kata seorang spiritualis atau pemimpin agama memiliki kekuatan ekstra, karena mereka adalah seorang pemimpin, juga penyembah Tuhan berdedikasi. Berkahnya bisa menjadi luar biasa kuat, karena merupakan berkah seperti orang di ranjang kematiannya. Dimana saat-saat emosinya menjadi ekstrem, bahkan orang awam saja mampu menambahkan kekuatan shakti di balik kata-kata mereka. 


Baik Benar atau salah, bila kami memiliki cukup shakti, Anda akan merasakan dampak kutukan ketika mengutuk Anda, bahkan bila itu karena hanya mengambil sesuatu, yang kami pikir adalah barang pribadi kami. Meskipun memang benar, bahwa kami kemudian pada akhirnya harus ikut menderita karena telah mengutuk Anda, akan tetapi pertama-tama Anda harus menderita terlebih dahulu. Itulah Hukum Karma.


Meskipun usaha Prithviraja melakukan kawin lari, sebenarnya sama sekali bukanlah penculikan. Namun, dirinya harus menderita hanya karena ayah Sanyukta, bertindak seolah-olah itu adalah sebuah pencurian. Kutukan itu memberikan dampak karena ayah Sanyukta, sangat membenci Prithviraja membawa pergi putrinya. Sedangkan efeknya menjadi berlipat ganda karena ayah Sanyukta adalah seorang raja, seorang berkuasa di dunia fana. Anda harus berhati-hati terhadap para penguasa. 


Dewa Dattatreya ketika mengajar muridnya, Parashurama, berkata, “Wahai Parashurama, kamu tidak boleh berteman dengan seorang raja, seorang pertapa, api, atau air, tetapi bila kamu berteman dengan mereka, maka jagalah persahabatan itu dengan sangat hati-hati, karena sifat mereka sangat bertolak belakang. 

  1. Raja mampu memberimu tanah, juga kekayaan, dalam satu tarikan napas, kemudian juga mampu memberikan hukuman mati di tarikan napas berikutnya.

  2. Sedangkan api bisa membantumu memasak makanan, atau justru membakarmu. 

  3. Air bisa membersihkan tubuhmu atau menenggelamkanmu.

  4. Seorang pertapa, Bila dia senang denganmu, maka akan memberikan apa saja untukmu, sedangkan langit adalah batasnya. Tetapi bila membuatnya marah, kamu akan lumat, hancur total.

Kesimpulan

Kebijaksanaan Raja seperti Akbar, serta Prithviraja Chauhan, menawarkan pelajaran berharga mengenai karma juga keadilan. Akbar menolak menjadi raja haus darah, meskipun dilahirkan dalam lingkungan kekerasan, membuktikan bahwa kebijaksanaan, mampu melampaui kekejaman warisan leluhurnya. Sedangkan Prithviraja, meski memiliki kekuatan besar, harus menanggung konsekuensi karma masa lalu akibat tindakannya. 


Kisah mereka mampu mengingatkan kita, bahwa setiap tindakan, baik atau buruk, meninggalkan jejak dalam roda karma. Bahkan keputusan kecil mampu mempengaruhi nasib besar. Dalam perjalanan kehidupan mereka, kita melihat pentingnya mematuhi hukum universal, melampaui ego, dan menahan diri melalui balas dendam, yang hanya memperpanjang siklus karma. 


Melalui kebijaksanaan dan kesabaran, kita mampu mengelola karma tersebut dengan lebih anggun, juga membangun masa depan lebih cerah. Pelajaran ini relevan tidak hanya bagi para pemimpin, tetapi juga bagi setiap individu yang ingin memahami, hubungan antara tindakan, dampak, serta keadilan kosmik.



Post a Comment

0 Comments